Martin Heidegger: Antara fenomenologi ontologis dan hermeneutika
- Version 1.0
Table of Contents

Biografi
Martin Heidegger lahir di Meßkirch, Jerman pada tanggal 26 September 1889 dan meninggal 26 Mei 1976 pada usia 86 tahun. Heidegger belajar di Universitas Freiburg di bawah Edmund Husserl, penggagas fenomenologi, dan kemudian menjadi profesor di sana pada tahun 1928. Ia memengaruhi banyak filsuf, termasuk Gadamer, Levinas, Sartre, Derrida, Foucault, dan lain-lain. Heidegger dianggap sebagai filsuf yang mengarahkan fenomenologi ke arah yang lebih ontologis dengan mempertanyakan manfaat atau nilai guna keber”ada”an manusia.
Heidegger sebenarnya diharapkan oleh keluarganya untuk menjadi seorang pendeta. Pada masa remaja, ia dipengaruhi oleh Aristoteles yang dikenalnya lewat teologi Kristen. Konsep tentang Ada, dalam pengertian tradisional ini, adalah perkenalan pertamanya dengan gagasan yang kelak ditanamkannya pada pusat karyanya yang paling terkenal, Being and Time (bahasa Jerman: Sein und Zeit). Keluarga Heidegger tidak cukup kaya untuk membiaya kuliahnya, dan ia membutuhkan beasiswa sehingga ia memilih untuk belajar agama. Meski demikian, saat menjadi mahasiswa, ia memilih untuk meninggalkan teologi dan beralih pada filsafat karena ia menemukan sumber pendanaan lain untuk studinya. Ia menulis disertasi doktoralnya berdasarkan sebuah teks yang saat itu dianggap sebagai karya Duns Scotus, seorang pemikir etika dan keagamaan abad ke-14.
Karya-karya penting Heidegger antara lain Sein und Zeit (1927), Identitat und Differenz (1969), Einfuhrung in die Metaphysic (1953), Phanomenologie und theologie (1970), dan masih banyak yang lainnya. Kebanyakan karya Heidegger membahas masalah seperti “What is Being?”, “Why is there something rather than nothing at all?” demikian juga topik- topik mengenai eksistensi manusia, kegelisahan, keterasingan, dan kematian. Pemikiran Heidegger ini sangat dipengaruhi oleh Husserl, filsuf pengusung fenomenologi. Heidegger mengikuti pemikiran Husserl tentang metafisika, yaitu bahwa filsafat sebagai ilmu harus berubah: filsafat sebagai bagian dari ilmu kealaman yang empiris menjadi filsafat sebagai ilmu otonom yang apriori. Tetapi fenomenologi Husserl and Heidegger berbeda dengan metafisika yang dianut para filsuf selama berabad- abad sejak Aristoteles. Metafisika mereka itu berpusat pada realitas yang melangit (Tuhan), sementara Husserl dan Heidegger lebih berfokus pada “Ada” yang membumi.
Pemikiran
Heidegger mulanya adalah seorang pengikut fenomenologi. Secara sederhana, kaum fenomenolog menghampiri filsafat dengan berusaha memahami pengalaman tanpa diperantarai oleh pengetahuan sebelumnya dan asumsi-asumsi teoretis abstrak. Heidegger tertarik akan pertanyaan tentang “Ada” (atau apa artinya “berada”). Karyanya yang terkenal Being and Time (Ada dan Waktu) dicirikan sebagai sebuah ontologi fenomenologis. Persoalan tentang keberadaan yang sudah lama hilang dihidupkan kembali oleh Heidegger.
Dalam karya ini, Heidegger mempertanyakan makna dari ada: apa maknanya bila sesuatu entitas dikatakan ada? Pertanyaan ini adalah satu pertanyaan mendasar dalam cakupan wilayah ontologi. Dalam pendekatannya, Heidegger terpisah dari tradisi Aristotelian dan Kantian yang mendekati pertanyaan itu dari sudut pandang logika. Secara implisit mereka mengatakan bahwa pengetahuan teoretis mewakili relasi mendasar antara individu dan ada di dunia sekitarnya (mencakup juga dirinya sendiri). Nah, Heidegger menolak tesis ini dengan mengawali pendekatannya dari fenomena keterlibatan yang disebutnya sebagai sorge. Perilaku manusia adalah sebuah keterlibatan secara aktif dengan objek keseharian di sekelilingnya. Dia bukan seorang pengamat pasif yang mengambil jarak dari dunianya.
Cara pandang Heidegger ini sangat penting dalam menguji data pengalaman lansung. Teori- teori yang menempatkan seorang sebagai penonton telah menciptakan jurang antara subyek dengan dunia obyek sehingga ia gagal mengungkapkan fakta yang sesungguhnya. Supaya terhindar dari kegagalan seperti di atas maka Heidegger mempersoalkan (kembali) eksistensi manusia. Segala yang ada di luar manusia selalu dikaitkan dengan manusia itu sendiri. Benda-benda yang berada di luar kita baru mempunyai arti jika hanya dalam kaitan dengan manusia. Lebih jauh dikatakan, dunia di luar manusia dipandang dan dikonseptualisasi sebagai berbeda-beda secara struktural ke dalam wilayah-wilayah modalitas eksistensial dan modifikasi manusia.
Untuk mengetahui secara mendalam filsafat Heidegger, diperlukan pemahaman terhadap istilah-istilah kunci yang biasa ia pakai, di antaranya:
- Dasein, yaitu eksistensi manusia di dunia empiris;
- Seinde, yaitu beradanya benda-benda (things) yang terletak begitu saja di depan orang (vorhanden);
- Facticity, yaitu fakta bahwa dasein adalah being yang terlempar.
Beberapa kata kunci di atas dipergunakan oleh Heidegger untuk menemukan dan merumuskan makna “ada” (sein, being), karena bagi Heidegger dasar untuk menjelaskan ada itu adalah sein und zeit (being and time). Dua struktur dasar atau kategori “ada” ini dibahas dalam adanya manusia secara fenomenologis. Namun, “ada” itu sendiri menurut Heidegger tidak bisa terlepas dengan waktu. Karena Dasein itu tidak lain adalah waktu itu sendiri. Bagi Heidegger, waktu itu sama nyatanya dan dalam rentangan waktu itulah seseorang senantiasa berada dalam kemungkinan- kemungkinan untuk bertindak. Dalam kondisi seperti inilah manusia terbentur pada kehilangan- kehilangan. Maksudnya, ada pengalaman akan ketiadaan dan ada hal- hal yang belum terealisasi. Sementara perasaan yang belum terealisasi itulah yang kemudian memunculkan perasaan cemas pada diri manusia, karena ia terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan.
Dalam rentangan waktu seorang individu berada dalam kemungkinan- kemungkinan yang menjadi alternatif bagi manusia untuk bertindak. Disinilah manusia memiliki pilihan-pilihan. Di sini pula manusia terbentur pada pengalaman akan ketiadaan dan hal-hal yang belum terealisasi dapat memunculkan perasaan cemas pada manusia. Manusia mudah terbentur dengan ketiadaan dan keterbatasan. Dalam konteks inilah Heidegger kembali ke pertanyaan awal, siapakah manusia sebenarnya? Apakah Ada yang konkrit itu? Apakah Ada yang tertinggi itu? Apakah arti aku ada? Semua pertanyaan ini direnungkan manusia dalam mencapai eksistensi dirinya. Heidegger memandang manusia sebagai makhluk yang terlempar, seolah hidup di sebuah tempat yang diapit dua jurang: Ada dan Ketiadaan. Ia ada karena hidup di dunia dan tiada karena berakhir dengan kematian. Kegelisahan manusia akan pengalaman ketiadaan justru menyadarkan manusia itu sendiri. Ia pada akhirnya harus berjumpa dengan soal- soal seperti temporalitas, ketiadaan, akan pengalaman keterbatasan dan kematian.
Pemikiran Heidegger sangat berpengaruh pada bidang filsafat ontologis dan humaniora. Permasalahan yang sangat menarik yaitu permasalahan mengenai pemahaman bahwa seluruh manusia menemukan dirinya di dunia ini melalui asumsi- asumsi. Harapan dan konsep dipaparkan sebelum berpikir atas eksperimen. Analisa kehidupan sehari-hari membuktikan bahwa sesuatu yang dapat dipahami merupakan akibat dari faktor yang tidak diketahui yang didapatkannya sebelum berpikir.
Menurut Heidegger, setiap interpretasi, termasuk dalam ilmu kealaman, membutuhkan asumsi. Misalnya ketika seseorang melihat batu adalah sebagai batu, bukan sesuatu yang lain. Oleh karena itu, langkah awal setiap penafsiran adalah adanya pendapat atau asumsi atas segala eksperimen. Heidegger menyebut kondisi ini sebagai eksisetensi manusia. Heidegger juga meyakini bahwa penafsiran Dasein dan eksistensi berdasar pada teks. Dasein menafsirkan dunia dan diri, yakni memandang kehidupannya dengan cara tersendiri. Pengaruh dari pemikiran Heidegger yaitu bahwa manusia mampu menangkap kehadiran-Nya melalui pemikiran mendalam tentang “Ada” dan “Meng-Ada.”
Bibliographical Entries
- Zubaedi. (2007). Filsafat barat. Yogyakarta: Arruzz Media.
- Bertens. K. (1990). Filsafat barat abad XX. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka.
- Dagun, S. M. (1990). Filsafat eksistensialisme. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Citation
Agus Eko Cahyono: „Martin Heidegger: Antara fenomenologi ontologis dan hermeneutika“, Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,