Logo

Search the Maliki Encyclopedia

Article Hewan Melata Dalam Islam

Hewan Melata Dalam Islam

Hewan Melata dalam Islam

Hewan melata dalam bahasa ilmiah dikenal dengan kelompok Herpetofauna. Secara harfiah, herpetofauna berasal dari 2 kata yaitu herpeton, dan fauna, atau hewan yang bagian ventral menghadap substrat dalam kondisi normal. Ilmu yang mengkaji tentang hewan melata disebut dengan Herpetologi. Herpetofauna dibagi ke dalam dua kelas besar yaitu amphibia dan reptilia, masing-masing kelompok hewan tersebut memiliki keunikan  tersendiri.  Allah menyebutkan kelompok hewan ini secara tersurat dalam  Al-Qur’an:

Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan  di atas perutnya dan sebagian berjalan  dengan dua kaki sedang sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (QS. An-Nuur: 45)

Berikut adalah penjelasan dari Tafsir Al-Muyassar/ kementrerian agama Saudi Arabia (Tafsirweb.com, 2020). “Dan Allah telah menciptakan semua jenis makhluk yang berjalan di muka bumi ini berasal dari mani, maka sebagian dari makhluk itu ada yang berjalan di atas perutnya, merayap seperti ular, dan  sebagian berjalan dengan dua kaki seperti manusia dan burung, sedang sebagian yang lain berjalan dengan empat kaki seperti binatang ternak. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki, baik yang telah  disebutkan itu ataupun belum disebutkan, sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, tiada sesuatupun yang membuat-Nya lemah”.

Pada beberapa tafsir yang lain seperti dikutip dari Tafsir Al-Mukhtasar pusat tafsir Riyadh (Tafsirweb.com,  2020), hewan yang berjalan diatas perut diumpamakan sebagai reptil atau hewan melata pada umumnya.  Sedangkan yang dijelaskan oleh Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah (Tafsirweb.com, 2020), hewan yang berjalan dengan 4 kaki diumpamakan hewan lain secara umum dan tidak merujuk pada hewan ternak saja.

A. Kelas Amphibia

Amphibia berasal  dari 2 kata yaitu, Amphi dan bias atau diartikan hewan yang memiliki kehidupan rangkap/ganda. Seringkali amfibi diidentikan dengan hewan yang  hidup di dua alam, namun lebih tepatnya amfibi adalah hewan yang  melalui  metamorfosis dan memiliki 2  fase kehidupan, yaitu fase  larva yang umumnya dijumpai pada habitat perairan yang basah, dan fase dewasa yang lebih sering dijumpai pada habitat yang relatif kering. Beberapa amfibi diketahui tidak memiliki metamorfosis, beberapa mengalami metamorfosis namun tidak  sempurna. Kelas Amphibia dibagi ke dalam tiga ordo, yaitu anura, caecilia (apoda, gymnophiona), dan caudata (urodela, salamander).

Beberapa karakter umum dari amfibi diantaranya memiliki sifat poikilotermik ektotermik atau berdarah dingin. Amfibi tidak dapat melakukan regulasi suhu tubuh secara mandiri, sehingga suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan habitat. sehingga amfibi memiliki batas resistensi suhu yang relatif sempit dibandingkan dengan hewan vertebrata lainnya. Amfibi memiliki jantung berongga 3 yang terdiri dari 2 atrium dan 2 ventrikel, hal ini mengakibatkan darah bersih dan darah kotor akan bercampur pada ventrikel, meskipun demikian jantung amfibi diciptakan cukup unik karena memiliki mekanisme pemisahan darah bersih dan darah kotor, sehingga otak dan organ lainnya dapat selalu tersuplai dengan baik sesuai dengan kebutuhan asupan nutrisinya. Amfibi memiliki kelenjar mucus dan toksin/racun pada kulitnya. Kelenjar mucus akan mensekresikan cairan keatas permukaan kulit amfibi agar kulit senantiasa lembab, hal ini untuk membantu proses pernafasan amfibi dengan bantuan kulit agar lebih efisien  sebagai pensuplai oksigen tambahan selain dari paru-paru yang masih sederhana. Beberapa amfibi memiliki perilaku mengeluarkan suara (vokalisasi), sehingga umumnya amfibi dilengkapi indera pendengaran berupa membran timpanum. Pada hewan vertebrata pada umumnya memiliki epitel sensoris pada telinga tengah yang disebut pappila basilaris, sehingga dapat mendengar suara dengan frekuensi tinggi diatas 1000 Hz via stapes. Pada amfibi, selain pappila basilaris, mereka juga memiliki pappila amphibiorum yang dapat mendeteksi suara dengan frekuensi rendah dibawah 1000 Hz.

Ordo Anura atau katak dan kodok memiliki berbagai karakter morfologi yang mensuport perilaku mobilitas untuk melompat. Beberapa modifikasi organ yang dimiliki anura untuk mobilitas saltator diantaranya pengurangan volum dan massa tubuh tanpa mengurangi kekuatan dan fungsinya. Modifikasi ini bisa diamati dengan jelas pada rangka anura yang secara umum memiliki reduksi dan fusi di beberapa organ. Pada area cranial, anura memiliki tengkorak tipe gymokrotaphic, yaitu tengkorak yang terbuka khususnya di area temporal. Bagian tengkorak yang mereduksi dapat mengurangi massa tubuh. Hal serupa juga dapat diamati pada bagian rangka tubuh, beberapa tulang mengalami reduksi seperti sternum (tulang  dada) dan costae  (tulang rusuk).  Selain reduksi rangka, terdapat juga beberapa tulang yang berfusi seperti urostylus, gabungan tulang radius dan ulna menjadi radio-ulna, gabungan tibia dan fibulamenjadi tibia-fibula. Dengan reduksi dan bersatunya beberapa tulang tersebut, khususnya pada tulang tungkai, menyebabkan amfibi memiliki massa tubuh yang relatif  ringan, dan kekuatan lompatan yang besar. Beberapa famili dari Ordo Anura yang umum dijumpai di Indonesia diantaranya adalah: Famili Ranidae, Bufonidae, Rhacophoridae, Microhylidae, dan Megophryidae.

Gambar 6. Beberapa koleksi anura di area Malang, atas kiri: Huia masonii, atas tengah: Duttaphrynus melanostictus, atas kanan: Leptobrachium hasseltii, kiri bawah dan kanan bawah: Chalcorana chalconota,  serta bawah tengah: Microhyla achatina (Foto Tim Maliki Herpetology Society).

Ordo Caecilia, Gymnophiona atau Apoda, memiliki ciri umum tidak bertungkai (a=tanpa; podos=kaki tungkai). Sepintas ordo ini mirip cacing, namun jika diamati seksama, apoda memiliki karakter umum yang khas dan tidak dimiliki hewan lain yang mirip dengannya, diantaranya adalah memiliki tengkorak bersifat stegokrotaphic dan zygokrotaphic yang lebih tertutup dibandingkan tengkorak pada anura, mata  yang mereduksi karena habitat umum hewan ini adalah fossorial (meliang), sebagian lain bersidfat akuati,  dengan mereduksinya mata apoda dilengkapi oleh sensor tambahan berupa tentakel kecil di area antara mata dan nostril.  Apoda memiliki tubuh memanjang dengan ekor yang mereduksi, sehingga beberapa organ tubuh yang berpasangan, salah satunya mereduksi (paru-paru kiri). Permukaan tubuh apoda terlihat bercincin (annuli), dan dibawah kulit terdapat kantong sisik di bawah lekukan cincin tubuhnya tersebut. Apoda melakukan reproduksi secara internal, individu jantan dilengkapi dengan alat kopulasi khusus yaitu copulatoris phallodeum. Beberapa famili dari Ordo Apoda diantaranya adalah: Famili  Rhinatrematidae, Ichthyopiidae, Caeciliidae, dan yang terbaru ada Chikilidae dari India yang dideskripsi tahun 2012.

Ordo Caudata, Urodela, atau sering disebut Salamander merupakan satu-satunya ordo dari Kelas Amphibia yang tidak ditemukan di habitat Indonesia. Salamander sekilas mirip kadal karena sebagian jenis memiliki ekor dan tungkai dengan tubuh memanjang seperti kadal pada umumnya. sebagian besar anggota salamander dapat ditemukan di daerah dengan ikim sub tropis. Larva bernafas dengan insang filamentous seperti  amfibi pada umumnya, namun beberapa jenis salamander bahkan masih  menggunakan insang sebagai organ respirasi sampai fase dewasa, sehingga beberapa jenis salamander memiliki sifat paedomorfis (paedo= juvenil, morfism=bentu tubuh). Paedomorfism juga dapat dijumpai pada beberapa salamander sebagai respon terhadap gangguan lingkungan. Beberapa famili dari salamander yaitu: Famili  Sirenidae, Amphiumidae, Plethodontidae, Proteidae, Salamandridae, Ambystomatidae, dan Cryptobranchiidae.

Gambar 7. Atas: Salamandra salamandra (©2000 Arie van der Meijden); Bawah: Ichthyophis sikkimensis (©2017 Krushnamegh Kunte)

Amfibi dalam Pandangan Islam

Beberapa ayat berbicara mengenai amfibi secara tersurat, diantaranya sebagai wabah yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Surah Al-A’raf:

Maka Kami kirimkan kepada mereka topan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyombongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa(QS. AlAraf [7]:  133)

“Kemudian Kami kirimkan air bah kepada mereka hukuman atas penolakan dan pembangkangan mereka sehingga menenggelamkan lahan pertanian dan buah-buahan mereka. Lalu Kami kirimkan kepada mereka belalang untuk memakan hasil pertanian mereka. Kami juga mengirim kutu yang menyerang tanaman serta menyakiti manusia di rambut kepalanya. Lalu Kami kirimkan kepada mereka katak yang memenuhi wadah-wadah mereka, merusak makanan mereka dan mengganggu tidur mereka. Dan juga Kami kirimkan kepada mereka darah yang membuat air sumur dan sungai mereka berubah menjadi darah. Kami mengirimkan itu semua sebagai bukti yang nyata dan datang silih berganti secara berturut- turut.  Meskipun begitu banyak hukuman yang menimpa mereka, tetapi mereka tetap enggan untuk beriman kepada Allah dan percaya kepada ajaran yang dibawa oleh Musa -‘Alaihissalam-. Mereka adalah  orang-orang yang suka berbuat maksiat, tidak mau meninggalkan kebatilan dan enggan mengikuti jalan yang benar” Menurut tafsir Al-Muyassar/ kementerian agama Saudi Arabia (Tafsirweb.com, 2020), katak yang dikirimkan bertujuan untuk mengotori tempat minum (bejana), merusak makanan, dan mengganggu tidur pada orang-orang kafir yang membangkang. seperti dikutip dalam tafsir diatas.

Beberapa Hadits dan Nash sahabat juga menyebutkan amfibi khususnya “katak” secara tersurat dalam konteks konservasi dan pelestarian “dhifda”‘ yang berarti katak/kodok.

“Bahwa ada seorang tabib dokter bertanya kepada Nabi  Shallallahu’alaihi wasallam tentang katak yang akan dijadikan sebagai obat, maka Nabi shallallahualaihi wasallam melarang untuk membunuhnya”  (HR. Nasa’i dan Abu Dawud, Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al-Hakim, Adz-Dzahabiy rahimahumallah, dan syeikh Albaniy rahimahullah).

Berilah keamanan bagi kodok (jangan dibunuh) karena sesungguhnya suaranya yang kalian dengar adalah tasbih, taqdis, dan takbir. Sesungguhnya hewanhewan meminta izin  kepada Rabb-nya untuk memadamkan  api dari Nabi Ibrahim, maka diizinkanlah bagi  kodok. Kemudian api menimpanya maka Allah menggantikan untuknya panas api dengan air.(HR. Anas bin Malik, shahih, Abu Sa’id Asy-Syaamiy Ibrahim bin Abi ‘Ablah dan Abaan bin Shaalih, keduanya tsiqah)

Janganlah kalian membunuh katak karena sesungguhnya suaranya adalah tasbih, dan janganlah kalian membunh kelelawar karena sesungguhnya ketika Baitul Maqdis hancur, ia berdo’a: “Wahai Tuhanku, berilah aku kekuasaan terhadap lautan agar aku bisa menenggelamkan mereka.(HR. Baihaqiy)

Menurut pendapat imam Syafi’i, kodok tidak halal dimakan. Kodok haram untuk dibunuh, sehingga dimakan untuk keperluan konsumsi dan pengobatan menjadi haram hukumnya berdasarkan pemahaman hadits diatas, terlebih untuk dikonsumsi maupun pengobatan, akan membutuhkan jumlah kodok/katak yang relatif tidak sedikit.

Larangan membunuh katak dan kodok  dalam Islam sangat tegas. Beberapa narasi memberi penyebab   alasan berupa ketaatan mereka dengan senantiasa memuji Rabb semesta alam, dan memihak kepada yang Haq dengan mencoba memadamkan Nabi Ibrahim Alaihissalaam dari api yang membakarnya. Sebagai akademisi ulul albab, kita memiliki kerangka berfikir ‘akal yang sehat senantiasa sejalan dengan ayat qauliyah. Adanya larangan membunuh kodok sepatutnya memiliki hikmah lebih dari itu, kaitannya  dengan adanya kebaikan yang didapatkan dengan melestarikan hewan tersebut, dan adanya potensi keburukan jika kita membunuh/membasmi kodok.

Anura memiliki peran penting dalam keseimbangan ekosistem dengan menjaga populasi berbagai serangga merugikan tetap terkendali. Sebagaimana yang kita ketahui, dalam suatu ekosistem terdapat berbagai macam interaksi, diantaranya ada yang berhubungan dengan aliran energi dan siklus materi yang terikat pada jejaring makanan. Dalam suatu jaring makanan, keberadaan setiap  spesies sama pentingnya untuk menjaga agar aliran energi dan siklus materi berjalan berkesinambungan. Hilangnya salah satu jenis akan mengakibatkan ketidakseimbangan dalam ekosistem dikarenakan hilangnya satu spesies artinya satu peran dalam sebuah ekosistem mengalami kepincangan atau bahkan kekosongan, yang akan berdampak pada  populasi jenis yang bersinggungan secara langsung dengan spesies  yang hilang  tersebut. Prey akan mengalami overpopulasi dikarenakan hilangnya predator alaminya dan secara langsung akan berdampak prey dibawahnya tereksploitasi secara berlebih, mengakibatkan berkurangnya ‘stok’ makanan bagi jenis-jenis lainnya. Dengan sumber makanan yang   berkurang, runtuhnya jaring makanan hanya tinggal masalah waktu.

Katak dan kodok berperan penting menjaga keseimbangan ekosistem dengan berperan sebagai musuh alami berbagai jenis serangga hama dan sumher penyakit. Berkurang atau hilangnya hewan ini tidak hanya mengganggu kestabilan jaring makanan, namun juga dapat memunculkan potensi hama pertanian, perkehunan, dan wabah penyakit dari serangga  yang menjadi makanan alaminya. Menjaga kelestarian anura dapat membawa maslahat untuk masyarakat, sekaligus bernilai ibadah dengan diniatkan mengikuti anjuran dan perintah Nabi shallallahu alaihi wasallam. Berdasarkan alasan tersebut, UIN Malang telah bergerak sejak  2016 dalam melakukan upaya pelestarian diantaranya Katak dan Kodok dengan didirikannya Maliki Herpetology Society di Jurusan Biologi yang berfokus pada Research, Educate, Conserve reptil dan amfibi di Malang. Beberapa lokasi yang pernah dieksplorasi oleh tim MHS diantaranya adalah Ledok Amprong, Cohan Pelangi, Cohan Jahe, Lokasi Wisata Bedengan, Cohan Putri, Cohan Tarzan,  Cohan Kodok, dan beberapa lokasi wisata  air terjun  lainnya.

Kodok Jam Pasir (Leptophryne borbonica)

Gambar 8. Foto spesimen Leptophryneborbonica jantan hidup di habitat alami (Poto: Luhur Septiadi)

Klasifikasi Ilmiah

Kingdom: Animalia

Filum: Chordata

Kelas: Amphibia

Ordo: Anura

Famili: Bufonidae

Genus: Leptophryne

Spesies: Leptophryne borbonica

(Tschudi, 1838)

Nama Umum

Kodok jam pasir, Hourglass toad

Leptophryne merupakan genus dari Famili Bufonidae. Genus ini memiliki kelenjar paratoid yang   mereduksi. karakter khas yang dapat diamati pada genus ini adalah memiliki pelebaran berbentuk oval pada tuberkel subartikular pertama pada setiap jari. Kaki memiliki selaput renang dengan ukuran tidak terlalu lebar. Pada jari ke lima dan tiga, selaput tidak sampai menutupi tuberkel subartikular  terakhir. Ukuran dari spesies ini relatif kecil, 25-40 mm untuk betina, dan 20-30mm pada jantan. Ukuran  moncong pendek dan merungcing. Moncong memiliki sedikit tonjolan di atas rahang bawah. Ciri khas yang membedakan jenis ini dari kerabatnya dalam satu genus adalah pola jam pasir yang dapat dengan jelas diamati pada bagian dorsal tubuh. Beberapa sampel ditemukanmmemiliki poka segitiga berwarna hitam di belakang mata. Warna dasar tubuhnya adalah cokelat keabu-abuan dengan warna tubuh ventral bagian cranial cokelat, dan bagian abdominal dan tungkai berwarna abu-abu kekuningan.

Berudu dari spesies Leptophryne borbonica berwarna hitam, dilengkapi dengan papila di bagian labium bawah dan bagian lateral labium atas. Menurut Iskandar (1998), berudu jenis ini memiliki  rumus geligi 2-2/III.

Penyebaran spesies ini di Indonesia tersebar di Kalimantan, Sumatera dan Jawa dengan tipe lokaliti dari Jawa Barat (Iskandar, 1998). Selain itu juga pernah tercatat di Gunung Tengger tanpa lokasi yang terperinci  (Ardiansyah  et  al., 2014;Iskandar& Colijn,  2000). Mumpuni (2014) menemukan populasi baruL.borbonica di Jawa Tengah dan menjadi rekor distribusi baru di Jawa Tengah pada saat itu. Pada  tahun 2019, populasi baru  juga ditemukan berasal dari area Kabupaten Malang,dan tercatat sebagai new record sebaran spesies tersebut di Lereng Gunung Tengger, Malang, Jawa Timur (Erfanda et al., 2019).

Gambar 9. Poto spesimen tampak dorsal dan ventral (Poto: M. Prayogi Erfanda)

Gambar 10. Poto larva Leptophryne borbonica populasi Malang (Poto: M. Prayogi Erfanda)

Penelitian mengenai spesies ini masih berlanjut hingga  saat ini, mengingat trend penemuan populasi   baru muncul baru-baru ini khususnya di Pulau Jawa. Selain itu dengan bentuk lahan pegunungan di sekitar wilayah Batu dan Malang, dan jumlah hutan yang kian berkurang, potensi  ini menghadapi ancaman yang cukup besar.

Selain Leptophryne borbonicabeberapa jenis dari Genus Leptophryne yang dijumpai di Pulau Jawa diantaranya adalah Leptophryne cruentata dan Leptophryne javanica yang sebelumnya dideskripsi sebagai spesies kriptik dari jenis lainnya.

Katak Kepala Pipih Kalimantan (Barbourula kalimantanensis)

Barbourula kalimantanensis tersebar di Kalimantan Barat tepatnya di hulu sungai kapuas. Katak ini memiliki karakter kepala pipih dan lebar dengan moncong membulat tumpul. Tubuh katak ini padat dan pipih (Iskandar, 1978; Iskandar, 1995). Karakter yang unik dari jenis ini adalah bahwa spesies ini tidak memiliki paru-paru (mungkin satu-satunya katak yang tidak memiliki paru-paru). Katak tanpa paru-paru ini memiliki nostril yang selalu basah dan terletak di ujung moncong, mata terletak di area samping depan kepala. Spesies ini memiliki gigi vomer di maksila dan premaksila. Tidak ditemukan adanya saluran yang mengarah ke organ pernafasan, sehingga hanya ditemukan saluran esofagus di bagian basal rongga mulut, selain itu individu jantan tidak memiliki kantong suara.

Barbourula kalimantanensis memiliki tungkai dengan selaput penuh pada jari, sehingga tungkai depan dan belakang hampir menyerupai dayung. Ukuran jari ke dua dan ke tiga sama, begitu juga dengan jari ke tiga dan ke empat. Ujung jari katak ini mengalami pelebaran, namun tidak ada alur melingkar. Terdapat lipatan kulit di sepanjang paha dan tibia. Berdasarkan ciri dari spesies  ini, jelas sekali bahwa habitat dari  spesies ini adalah di perairan. Tidak adanya paru-paru pada jenis ini menunjukan asosiasi B.kalimantanensis dengan habitat perairan sangat erat. Dengan tidak memiliki paru-paru, katak ini hanya menggunakan kulit sebagai organ respirasi.

Gambar 11. Barbourula kalimantanensis (©2008 David Bickford)

Klasifikasi  Ilmiah

Kingdom: Animalia

Filum: Chordata

Kelas: Amphibia

Ordo: Anura

Famili: Bombinatoridae

Genus: Barbourula

Spesies: Barbourula kalimantanensis (lskandar, 1978)

Nama Umum

Katak kepala-pipih kalimantan, Bornean flat-headed frog

Bernafas hanya mengandalkan kulit memiliki resiko dengan semakin tingginya perubahan lahan dan kerusakan habitat, ditambah isu global warming yang menyebabkan suhu permukaan bumi naik secara global dan dapat menyebabkan kekeringan perkepanjangan. Untuk dapat berfungsi dengan baik  sebagai organ respirasi, kulit harus selalu terjaga kelembabannya untuk memudahkan proses respirasi via cutanea, oleh karena itu jenis ini selalu berasosiasi erat dengan habitat perairan. Kondisi perairan yang kurang baik dan tidak sesuai dapat juga mengakibatkan gangguan pernafasan dan menyebabkan menurunnya populasi katak ini. Rusaknya habitat sungai kapuas dapat menyebabkan dampak yang sangat fatal bagi B. kalimantanensis, karena dengan tercemarnya sumber air kehidupannya, katak ini tidak memiliki pilihan untuk dapat bertahan hidup di darat dalam jangka waktu lama.

B. Kelas Reptilia

Reptilia berasal dari suku kata reptum yang artinya melata atau merayap. Selain bergerak dengan cara merayap, reptil memiliki beberapa karakter umum diantaranya tubuh dilindungi oleh sisik, dimana sisik berfungsi selain untuk melindungi tubuh dari gesekan benda asing, juga melindungi dari parasit dan predator, sisik juga berfungsi sebagai media untuk memberi gaya gesek pada ular saat bergerak diatas  substrat, maupun untuk mencengkeram mangsanya. Beberapa kelompok reptil khususnya kadal dan ular mengalami proses shedding atau  pergantian sisik (ngelungsungi). Sebagai hewan darat  pertama yang ‘sukses’ hidup di daratan melebihi pendahulunya amfibi, reptil ‘dimodali’ oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala beberapa kelebihan diantaranya paru-paru yang lebih berkembang dari amfibi, sehingga reptil lebih  independen terhadap keberadaan air karena tidak membutuhkan suplai oksigen tambahan dari kulit yang selalu basah. Reptil memiliki sisik yang bersifat waterproof sehingga lebih mampu menjaga air dalam tubuhnya saat kondisi cuaca panas, memiliki tungkai lebih kuat untuk mobilitas di daratan, dan telur yang dilindungi oleh cangkang sehingga tidak membutuhkan air untuk media incubasi telur sehingga reproduksi reptil dilakukan secara internal. Sebagian reptil memiliki jantung dengan 3 lobi, sebagian lain ada yang sudah berkembang menjadi 4 lobi meskipun memiliki sekat jantung yang belum   sempurna seperti pada buaya. Beberapa ordo dari Kelas Reptilia diantaranya adalah Chelonia/Testudinata, Crocodilia, Rhyncocephalia, dan Squamata (Subordo Amphisbaena, Sauria/Lacertilia, Ophidia/Serpentes).

Rhyncocephalia (Rhynco= tonjolan/ornamen, cephalia= kepala) atau biasa dikenal dengan nama tuatara merupakan ordo dari Kelas Reptilia yang tersebar endemik di Selandia Baru. Secara klasifikasi hewan ini hanya memiliki 2 anggota spesies, yaitu Sphenodon ghunteri dan Sphenodon punctatus. Berdasarkan catatan fosil, hewan ini pertama muncul pada era Triasic akhir sekitar 210-220 juta tahun yang lalu.  Morfologi dari kelompok hewan ini sekilas mirip kadal. Tuatara sering dijumpai pada habitat terestrial dekat dengan perairan. Ciri lain dari hewan ini adalah memiliki tipe tengkorak diapsida, aktifitas hidupnya lebih banyak dilakukan pada malam hari (nokturnal) dan bersifat karnifora-insektifora. Tuatara termasuk hewan terancam dikarenakan rentan terhadap perubahan lahan, area distribusinya yang terbatas dan memiliki masa inkubasi yang lama (sekitar satu tahun) sehingga penambahan populasi spesies tersebut relatif lambat. 

Gambar 12. Spesies Sphenodon punctatus (@Kristine Grayson-Dattelbaum)

Ordo Testudinata masuk dalam Subkelas Anapsida dengan ciri khas memiliki modifikasi tulang yang berfungsi sebagai pelindung berupa tempurung. Tempurung testudinata disebut sebagai karapas di bagian dorsal, sedangkan bagian ventral dikenal dengan nama plastron. Baik karapas maupun plastron bersifat permanen menempel pada tubuh. Sehingga tidak memungkinkan bagi spesies ini untuk hidup tanpa karapas dan plastron. Habitat dari testudinata bervariasi, dari daratan, perairan air tawar, dan perairan air laut. Beberapa hewan yang masuk ke dalam ordo ini diantaranya adalah kura-kura, bulus/labi-labi, dan penyu. Beberapa modifikasi morfologi dapat dijumpai pada anggota ordo tersebut berdasarkan tipe habitat mereka hidup. Sebagai hewan yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di air, penyu dan labi-labi memiliki struktur tempurung yang relatid pipih untuk memudahkan pergerakan di dalam air, selain itu mereka memiliki tungkai berselaput penuh pada jarinya, bahkan pada penyu bentuk tungkai mengalami perubahan menjadi seperti dayung. Pada kura-kura air tawar semi akuatik, bentuk tempurung relatif lebih cembung dan kaki lebih kokoh untuk menyokong pergerakan di darat, namun juga berselaput untuk mendukung mobilitas di perairan. Sedangkan pada kura-kura darat bentuk karapas cembung dengan bentuk kaki panjang dan kokoh sepertitongkat. Beberapa famili anggota ordo ini diantaranya adalah: Famili Chelidae, Pelomedusidae, Carettochelyidae, Chelydridae, Cheloniidae, Dermochelyidae, Trionycidae, Testudinidae, dan Emydidae.

Gambar 13. Atas: Amyda cartilaginea (foto: reptile-database @Gernot Vogel); Tengah: Dermochelys coriaceae (foto: nestonline.org); Bawah: Malaemys subtrijuga (foto: reptiledatabase @Ed Galoyan)

Crocodilia merupakan reptil bertubuh besar dengan sisik keras dari zat tanduk (scutum). Sisik dorsal pada buaya membentuk perisai dermal. Buaya memiliki bentuk sisik yang berbeda di beberapa lokasi tubuhnya. Pada bagian dorsal sisik keras dan berlunas, pada bagian lateral sisik buaya berbentuk membulat, sedangkan pada bagian ventral tubuh sisiknya berbentuk persegi. Buaya memiliki adaptasi yang mendukungnya sebagai ambush predator di air, dengan adaptasi tersebut, buaya mampu melakukan pengamatan terhadap mangsanya untuk mengawasi gerak gerik mangsa dan menyergap pada waktu yang tepat, sehingga banyak kasus penyerangan dilakukan oleh buaya setelah beberapa kali mangsanya memasuki area teritori. Beberapa adaptasi yang dimiliki buaya adalah memiliki membran nictitans yang melindungi mata pada saat menyelam sehingga dapat mengamati mangsa lebih jelas dari dalam perairan, memiliki nostril yang terletak di ujung moncong bagian dorsal untuk memudahkan buaya mengambil oksigen dengan hanya mengeluarkan nostril tersebut ke permukaan tanpa menimbulkan kecurigaan berlebihan mangsanya, memiliki katup di bagian palatum rongga mulutnya untuk mencegah air masuk melewati rongga mulut, memiliki foramen panazzi pada jantung yang membantu menstabilkan tekanan jantung saat menyelam lama agar tidak menimbulkan kerusakan pada organ sirkulasi. Secara taksonomi, buaya dibagi menjadi 3 famili, yaitu Famili Crocodilidae, Aligatoridae, dan Gavialidae yang dibedakan berdasarkan karakter umum bentuk moncong dan tipe perkatupan gigi saat moncongnya menutup, termasuk karakter sisik.

Gambar 14. Atas kiri: Crocodylus porosus (Reptile-database @A Suson); Atas kanan: Alligator sinensis (Reptile-database @Paul Freed); Gavialis gangeticus (Reptil-database)

Ordo Squamata memiliki sisik dari zat tanduk. Squamata berasal dari kata squama yang artinya sisik. Hewan kelompok ini juga memiliki kemampuan untuk meregenerasi sisiknya dengan melakukan shedding (ganti kulit/”ngelungsungi”). Squamata terdiri dari 3 subordo yaitu Lacertilia, Ophidia,dan Amphisbaenia. Pada anggota ophidia, shedding sisik di seluruh anggota tubuh dapat terjadi secara serentak pada satu waktu yang bersamaan dengan memanfaatkan substrat kasar untuk mempermudah dalam proses pengelupasan. Sedangkan pada lacertilia, dikarenakan anggota badan yang lebih kompleks, pergantian sisik dapat terjadi secara bertahap. Pergantian sisik ini dilakukan untuk beberapa tujuan, diantaranya mengganti ‘pakaian’ pada hewan squamata akibat bertambahnya volum tubuh (pertumbuhan), sehingga proses shedding akan terjadi lebih sering saat fase pertumbuhan di masa juvenil. Shedding juga berguna untuk membuang ektoparasit dari tubuh bersamaan dengan terlepasnya sisik lama. Pada beberapa kasus, hewan yang mengalami luka gores dapat mempercepat proses regenerasi kulit baru dengan melalui proses shedding.

Sisik pada hewan squamata berfungsi sebagai pelindung dan alat bantu pergerakan, khususnya pada kelompok ophidia/serpentes. Ophidia yang beranggotakan hewan tak bertungkai (ular) membutuhkan sisik ventral untuk melakukan pergerakan meliuk dengan memanfaatkan gaya gesek yang ditimbulkan dari kontak antara substrat dengan sisik ventral. selain itu pada beberapa jenis ular pembelit, sisik juga berfungsi sebagai penambah gaya gesek saat ular membelit dalam proses pelumpuhan mangsa. dengan adanya sisik, mangsa tidak mudah terlepas dan proses pelumpuhan dapat lebih efisien. pada ular air, sisik dorsal biasanya memiliki lunas yang juga dapat memberi gesekan tambahan pada saat ular membelit mangsa di air, mengingat proses pembelitan di air dapat terganggu akibat menurunnya gesekan akibat adanya air. Sisik jugaberfungsi sebagai karakter identifikasi untuk membedakan antar kelompok taksa.

Lacertilia beranggotakan cicak, tokek, bunglon, klarap, biawak, dan kadal lainnya. Lacer umumnya memiliki 2 pasang tungkai, berjari 5 dan bercakar. Meskipun demikian,ada beberapa jenis kadal yang tidak memiliki tungkai, misalnya pada Famili Pygopodidae. Beberapa kelompok kadal memiliki modifikasi sisik menjadi berupa tonjolan (Gekkonidae), ornamentasi tambahan (Agamidae, Iguanidae), dan kemampuan mengganti warna (Chameleonidae). Kadal memiliki beberapa perbedaan mendasar dari ular, diantaranya memiliki sutura pada rahang, memiliki kelopak mata, dan memiliki lubang telinga luar, sehingga meskipun ada jenis kadal yang tidak bertungkai, dari tiga karakter tadi akan dapat dibedakan dari ular. Berbeda dari ular, kadal memiliki kebiasaan ganti kulit secara berkala, hal ini disebabkan oleh adanya tungkai yang dapat menghambat proses shedding sehingga tidak dapat dilakukan secara serentak.

Ophidia atau disebut juga dengan nama serpentes adalah salah satu subordo anggota Kelas Reptilia. Ophidia beranggotakan seluruh ular yang ada di Bumi, mulai dari yang berukuran hanya sebesar isi ballpoint,hingga memiliki panjang lebih dari 10 meter. Beberapa karakter khas yang dimiliki oleh ular yakni, tidak bertungkai, mata tidak berkelopak dan terlindungi oleh sisik transparan yang akan ikut mengelupas saat proses shedding, pertemuan mandibula dihubungkan oleh ligamen elastis sehingga ular dapat membuka mulutnya sangat lebar dan dapat memangsa hewan yang berukuran hingga 10x besar kepalanya, paru-paru kiri ular umumnya mereduksi, sedangkan paru-paru kanan berkembang memanjang, ular tidak memiliki lubang telinga luar sehingga tidak memiliki indera pendengaran, namu demikian ular dilengkapi dengan tulang sensitif di bagian dagu untuk mendeteksi getaran yang ada pada substrat, indera sensor utama pada ular berupa organ jacobson yang dapat menghantarkan partikel yang diambil dari udara oleh lidah dan diterjemahkan oleh otak via bulbus olfactorius, beberapa jenis ular memiliki sensor pendeteksi panas sehingga menyebabkan beberapa kelompok ular (python dan pit viper) mampu mendeteksi mangsa berdarah panas dalam lingkungan yang gelap sekalipun.

Gambar 15. Atas: Famili Agamidae (kiri) dan Gekkonidae (kanan); Bawah: Famili Crotalidae (kiri) dan Elapidae (kanan) (Foto Tim Maliki Herpetology Society)

Deskripsi taksa pada ular melibatkan beberapa karakter morfologi utama, diantaranya adalah snouth vent length (SVL), tail length (tl), dan total length (TL), selain dari rasio ukuran tubuh, sisik merupakan karakter terpenting dalam identifikasi taksa pada ular. Beberapa sisik yang sering digunakan sebagai acuan identifikasi diantaranya adalah karakter sisik di bagian kepala, jumlah sisik dorsal, jumlah sisik ventral, karakter sisik anal, jumlah dan karakter sisik subkaudal.

Beberapa karakter pada ular jika dilihat dari perspektif manusia bisa dikatakan tidak sempurna, diantaranya memiliki rahang bawah yang tidak menyatu dengan baik, tidak memiliki sternum, tulang rusuk melayang, salah satu paru-paru mereduksi, tidak bertungkai, dan lain sebagainya. Namun demikian jika dilihat dari sudut pandang ular, kekurangan-kekurangan diatas sangat membantu dalam berbagai proses hidupnya. Misalnya dengan tidak memiliki sternum, ular dapat bergerak efisien dengan cara meliuk. Keberadaan sternum untuk proses mobolitas dapat mengganggu pergerakan karena tulang rusuk tidak dapat bergerak bebas untuk membantu proses meliuk dengan leluasa. Selain itu dengan tidak adanya sternum, ular dapat memasukan mangsa yang ukurannya besar ke dalam organ pencernaan, karena rusuk yang tidak terikat pada sternum akan dapat meregang lebih lebar untuk memberi jalan masuk mangsa yang masuk esofagus. Dengan ukuran mangsa yang besar, proses penelanan akan membutuhkan waktu relatif lama, dengan glottis yang dapat dijulurkan keluar, menjadikan ular tetap dapat bernafas meskipun proses penelanan sedang berlangsung. Penciptaan karakter tubuh ular yang unik ini bukanlah sesuatu yang terjadi secara kebetulan, karena struktur dan fungsi ini saling berkaitan satu sama lain. Allah sampaikan dalam firmanNya pada surah Al-Qomar:

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran” (AlQomar:49)

Berikut beberapa tafsir ayat tersebut dari berbagai sumber:

Dalam Hidayatul insan bi Tafsiril Qur’an (Tafsirweb.com, 2020), dijelaskan bahwa “Apa yang terjadi pada semua makhluk sudah ditetapkan oleh Allah. Sungguh, kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, yaitu suatu sistem dan ketentuan yang telah ditetapkan. Dan ketahuilah bahwa semua perintah kami yang menyangkut apa pun hanyalah diungkapkan dengan satu perkataan yang mudah dan cepat, seperti kejapan mata.”

Sedangkan menurut Tafsir As-Sa’di (Tafsirweb.com, 2020), “Hal ini mencakup semua makhluk, dan alam bagian atas maupun bagian bawah. Dia menciptakannya dengan qadha’ (qadar) yang telah diketahui-Nya, tertulis oleh pena-Nya, demikian pula sifat-sifat yang ada padanya, dan bahwa yang demikian itu mudah bagi Allah. Oleh karena itulah, Allah Subhaanahu wa Ta’aala berfirman di ayat selanjutnya, “Dan perintah Kami hanyalah (dengan) satu perkataan seperti kejapan mata.”

Dalam Tafsir Al-Muyassar (Tafsirweb.com, 2020), dijelaskan bahwa “Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu yang ada di alam ini dengan takdir yang telah lalu dari Kami, sesuai dengan pengetahuan Kami dan Kami tuliskan dalam Lauḥul Maḥfuẓ.”

Dari penjelasan tafsir-tafsi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah menciptakan seluruh alam, termasuk mahluk hidup secara seimbang, sesuai kadar, fungsi, peran dan kebutuhannya berdasarkan atas PengetahuanNya yang tak terbatas. Dengan demikian adalah hal yang mustahil jika Allah menciptakan suatu mahluk dengan bentuk yang tidak dapat membuatnya hidup di dunia dikarenakan “kekurangsempurnaan” morfologi. Allah yang paling mengetahui bagaimana mahluk itu hidup, dan bagaimana memenuhi semua kebutuhan hidupnya. Mahluk hidup telah diciptakan secara sempurna untuk melakukan peran spesifiknya masing-masing di alam semesta.

Reptil dalam Pandangan Islam

Islam memandang reptil sebagai mahluk ciptaan yang tidak berbeda dari mahluk lainnya. sebagian reptil dapat memberi manfaat bagi manusia, sementara sebagian lain memberi madharat. Beberapa narasi hadits populer terkait reptil mencakup hukum memakan reptil, dan anjuran membasmi reptil yang memberi madharat dan berbahaya bagi manusia. Hukum memakan reptil dapat dijumpai pada beberapa hadits yang merujuk pada jenis tertentu, seperti pada kasus hukum memakan dhabb yang sering diterjemahkan sebagai biawak, walau para peneliti masih meragukan identitas hewan dhabb ini apakah benar biawak atau hewan lain yang menyerupai biawak.

Dhabb dan Biawak

Dari Abduurahman bin Hasnah bahwa para shahabat memasak dhabb, lalu nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya satu umat dari bani Israil diubah menjadi hewan melata di tanah, aku khawatir mereka itu adalah hewan ini, jadi buanglah.” (HR Ahmad, Ibnu Hibban dan Ath-Thahawi)

Dari Ibnu Abbas ra berkata,”Aku makan dhabb pada hidangan RasulullahSAW.” (HR Bukhari Muslim)

Dari Ibnu Umar ra. berkata bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang hukum dhabb, maka beliau menjawab, “Aku tidak memakannya namum tidak mengharamkannya.” Beliau juga ditanya tentang hukum makan belalang, maka beliau menjawab, “Hukumnya sama.” (HR An-Nasa’i)

Rasulullah SAW bersabda, “Makanlah hewan itu karena hukumnya halal. Namun hewan itu bukan makananku.” (HR Muslim)

Berdasarkan beberapa narasi hadits diatas, terdapat perbedaan pendapat para ulama mengenai hukum memakan dhabb. Pengharaman mereka berangkat dari adanya hadits-hadits di atas yang esensinya mengharamkan seorang muslim memakan daging dhabb. Bahkan Rasulullah SAW sampai memerintahkan untuk membuangnya, karena beliau khawatir hewan itu adalah penjelmaan dari umat terdahulu yang dikutuk jadi hewan. Perintah untuk membuangnya berarti makanan itu haram. Karena kalau halalatau sekedar makruh, tidak mungkin beliau perintahkan untuk membuangnya. Sebab membuang makanan, meski tidak suka, hukumnya haram. Mereka yang menghalalkan makan daging dhabb tentu saja berhujjah dengan hadits-hadits yang membolehkan. Yaitu Rasululah SAW membolehkan makan dagingnya, meski beliau sendiri tidak memakannya. Sedangkan terhadap hadits-hadits yang membolehkannya, mereka mengatakan bahwa kedudukan hadits-hadits itu lemah dan bermasalah, sebagaimana hasil peniliaian para ulama berikut ini:

Ibnu Hazam mengatakan bahwa hadits riwayat Abu Daud tentang Rasulullah SAW melarang (makan) dhabb itu adalah hadits yang bermasalah pada isnadnya. Beliau mengatakannya perawinya dhaif (lemah) dan majhul (tidak diketahui). Demikian juga dengan Al-Baihaqi, beliau mengatakan bahwa dalam isnad hadits ini ada perawi yang bernama Ismail bin Ayyash. Menurut beliau perawi ini termasuk kategori: laisa bihujjah (tidak bisa dijadikan dasar argumen). Mereka juga mengatakan bahwa hadits yang melarang makan dhabb karena Rasulullah SAW khawatir hewan itu penjelmaan manusia yang dikutuk, tidak bisa diterima. Sebab bertentangan dengan hadits lainnya yang menyebutkan bahwa Allah SWT tidak mengutuk orang jadi hewan lalu hewan itu bisa beranak pinak dan berketurunan. Kemungkinan saat itu Rasulullah SAW belum menerima wahyu lebih lanjut bahwa umat terdahulu yang dikutuk menjadi hewan tidak akan punya keturunan, bahkan setelah jadi hewan, tidak lama kemudian mereka mati.

Dari Ibnu Mas’ud ra. bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang kera dan babi, apakah hewan itu penjelmaan (orang yang dikutuk di masa lalu)? Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah SWT tidak menghancurkan suatu kaum atau mengutuknya jadi hewan sehingga mereka punya keturunan.”

Asal hadits ini dari riwayat Imam Muslim, sebagaimana ditulis oleh Ash-shan’ani di dalam kitab beliau, Bulughul Maram. Wallahu a’lam bishshabwab.

Perbedaan pendapat hukum memakan dhabb diatas kemudian dianalogikan dengan hukum memakan biawak, karena banyak yang mengira dhabb ini adalah biawak, padahal tidak ada yang menjelaskan secara terperinci apakah 2 hewan diatas adalah sama. Berdasarkan karakteristik dhabb menurut ulama, ciri morfologi dhabb diantaranya: sepintas mirip biawak, bunglon dan tokek, ukuran tubuh lebih kecil dari biawak, memiliki ekor yang kasar dan berduri dengan tekstur kesat dan bersisik, ekor tidak terlalu panjang seperti pada biawak, memiliki warna mirip tanah yaitu gelap, umumnya mereka hewan herbivor atau insectivor dengan preferensi pakan belalang sehingga tidak termasuk hewan buas, habitat alami dhabb adalah gurun, bukan rawa atau habitat lembab seperti biawak di Indonesia pada umumnya, jika diartikan secara bahasa, biawak dalam bahasa arab disebut Warol, bukan dhabb. Berdasarkan informasi tersebut, kemungkinan hewan dhabb yang dinarasikan dalam hadits sebagai hewan yang dianggap halal oleh sebagian ulama bukanlah biawak, namun hewan Genus Uromastyx.

Gambar 16.Uromastyx aegyptia (Forskal, 1775), (@Ahmad Alshammaryreptile-database)

Berbeda dari hewan diatas, biawak adalah hewan buas pemakan daging, bertaring dan bercakar tajam. mereka juga bersifat agresif dan sebagian mengkonsumsi bangkai. Meskipun ada beberapa jenis biawak yang memiliki habitat alami di gurun, namun jelas berbeda dengan apa yang dijelaskan pada ciri-ciri hewan dhabb diatas, sehingga dalam hal ini sebagian besar ulama berpendapat bahwa biawak haram dimakan dan berbeda dari dhabb. Berdasarkan pengelompokannya pun, biawak dan dhabb berasal dari 2 famili yang berbeda. Sehingga dapat dipastikan bahwa yang di maksud dhabb oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukanlah biawak seperti yang diduga oleh sebagain masyarakat kita.

Berikut adalah klasifikasi dari salah satu jenis dhabb dan biawak:
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Reptilia
Ordo: Reptilia
Famili: Agamidae
Genus: Uromastyx

Spesies: Uromastyx aegyptia (Forskal, 1775)

Famili: Varanidae
Genus: Varanus

Spesies: Varanus salvator (Laurenti, 1768)

Gambar 17. Biawak Varanus salvator (foto: Andre Koch)

Reptil lain yang disinggung dalam narasi hadits adalah ular dan hewan serupa cicak (wazagh). Rasulullah menganjurkan kepada kita untuk membunuh dua kelompok reptil tersebut. Adapun beberapa hadits yang menyinggung 2 hewan diatas dapat ditemukan pada beberapa konteks yang berbeda menurut riwayatnya.

“Bunuhlah semua ular, barangsiapa yang takut pada dendam mereka, maka ia bukan dari golonganku”.riwayat Abu Daud, Shahih, al Misykah(4140).

“Tidaklah kami pernah berdamai dengannya (ular) sejak kami memusuhinya, maka barangsiapa yang membiarkannya lantaran rasa takut, maka ia tidak termasuk golongan kami.” riwayat Abu Daud, Hasan Shahih: Al Misykah (4139).

Dari Abbas bin Abdul Muthalib Radhiyallahu anhu, ia berkata kepada Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya kami akan membersihkan zam-zam sedang di dalamnya terdapat jinaan ini, yaitu ular kecil?” Rasulullah pun menyuruhnya untuk membunuhnya,” demikian diriwayatkan Abu Daud, Shahih: Apabila Ibnu Sibat benar-benar mendengar dari Al Abbas: Al Misykah (4141)].

Konteks narasi hadits diatas terjadi ketika terdapat ular kecil di dalam sumur air zam zam dan Rasulullah segera memerintahkan para sahabat untuk membunuhnya karena kehadiran ular tersebut dapat membahayakan nyawa jika tidak dibunuh. konteks perintah membunuh ular disini lebih diutamakan dalam kondisi membela diri. Segala sesuatu yang dilakukan dengan niat melindungi diri dari suatu keburukan bukanlah dihitung sebuah perbuatan dosa karena Rasulullah bersabda perihal pembelaan diri ini pada hadits lain:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ada seseorang yang menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu jika ada seseorang yang mendatangiku dan ingin merampas hartaku?” Beliau bersabda, “Jangan kau beri padanya.” Ia bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu jika ia ingin membunuhku?” Beliau bersabda, “Bunuhlah dia.” “Bagaimana jika ia malah membunuhku?”, ia balik bertanya. “Engkau dicatat syahid”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Bagaimana jika aku yang membunuhnya?”, ia bertanya kembali. “Ia yang di neraka”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim no. 140)

Pada beberapa hadits lain, terdapat sedikit perbedaan pada kasus ular yang masuk ke dalam rumah, sebagian ulama berpendapat boleh diberi peringatan terlebih dahulu selama tiga kali. Jika ular itu pergi maka dibiarkan dan tidak dibunuh, Namun jika tidak pergi, maka diperbolehkan untuk dibunuh. Namun untuk lebih menjamin keamanan, tak apa jika ular tersebut segera dibunuh.

“Sesungguhnya di rumah-rumah ada ular-ular yang berada di rumah-rumah. Apabila kalian melihat satu dari mereka, maka buatlah peringatan padanya tiga kali. Apabila pergi, maka biarkan dan bila tidak mau pergi maka bunuhlah, karena dia itu kafir,” demikian diriwayatkan Muslim nomor hadis 2236.

Sebagian Ulama berselisih paham mengenai pendapatnya tentang hukum membunuh ular yang ada di dalam rumah. Pendapat pertama menyebutkan bahwa ular dibunuh tanpa harus diberi pringatan dahulu baik di kota Madinah atau di luar kota tersebut. Mereka berpendapat bahwa banyak sekali hadits yang memperbolehkan untuk membunuh ular termasuk hadits Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW memperbolehkan kita untuk membunuh ular tanpa harus diperinci ular tersebut berada di dalam atau di luar rumah. Pendapat hukum kedua dari Ibnu Abdilbararr rahimahuallah menyebutkan bahwa tidak boleh membunuh ular di dalam rumah sebelum diberi peringatan, baik di rumah-rumah yang ada di wilayah Madinah atau kota di luar Madinah.

Imam Malik rahumahuallah berkata, “Lebih baik diperingatkan dahulu ada ular-ular yang ada di rumah di Madinah maupun di luar kota0020tersebut selama tiga hari,” (at-Tahmid 16/263).

Pendapat imam Malik diatas merujuk pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’ib, yang berkunjung ke rumah Abu Sa’id dan diceritakan tentang seorang pemuda yang membunuh ular yang menyebabkan istrinya keluar rumah karena panik, dan juga terbunuh oleh ular tersebut. Rasulullah kemudian bersabda “Sungguh, di Madinah ini ada sekelompok jin yang sudah masuk Islam. Jika kalian melihat salah satu dari mereka (dalam wujud ular) maka usirlah ia dengan halus selama tiga hari. Bila setelah tiga hari ia tetap saja enggan meninggalkan rumah, bunuhlah ia karena hewan yang demikian itu adalah setan!”.

Pada Narasi lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah SAW berakata : “Sesungguhnya ada ular di rumah. Apabila kalian melihatnya, maka buatlah peringatan tiga kali. Apabila pergi, maka biarkan dan apabila tidak mau pergi, maka bunuhlah” (HR Muslim : 2236)

Pendapat ketiga dari Imam Nafi, yaitu tidak boleh membunuh ular yang ada di dalam rumah di kota Madinah kecuali setelah diberi peringatan tiga kali. Namun, ular yang ada di luar rumah boleh dibunuh
tanpa diberi peringatan terlebih dahulu.Sedangkan pendapat keempat dari Abu Lubabah menyebutkan bahwa tidak ada seekor ular pun yang dibunuh di dalam rumah baik di kota Madinah atau di laur kota tersebut kecuali ular berbisa dengan garis hitam di punggung dan memiliki ekor pendek.

Gambar 18. Foto Arabian viper Genus Cerastes (@Eyal Bartov)

Berdasarkan perbedaan pendapat dan penjelasan narasi hadits-hadits diatas, dapat diketahui bahwa sebagian ular bisa jadi merupakan jelmaan dari jin yang menghuni di rumah-rumah dan pemukiman manusia. sehingga pada kasus ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan untuk memberi peringatan kepada ular yang masuk ke dalam rumah, karena dikhawatirkan dia adalah kaum jin yang telah masuk islam. Jika memang jin, maka dia dapat mendengar peringatan kita dan memahaminya karena ular tidak memiliki kemampuan pendengaran dan pemahaman pada apa yang kita ucapkan.

Bolehnya membunuh ular ada ‘illat yang menyebabkannya untuk dilakukan terutama jika dengan membiarkannya dapat membahayakan nyawa. Sehingga membunuh ular dengan tujuan untuk menjaga diri dianjurkan bahkan ditegaskan untuk dilakukan. adapun jika ular tersebut tidak membahayakan nyawa, para ulama sebagian berpendapat untuk membiarkannya. Berdasarkan informasi dari pendapat ke empat, ada pengecualian untuk segera membunuh ular jenis tertentu jika masuk ke dalam pemukiman. Ada ular yang bisa segera di bunuh diantaranya yang memiliki beberapa karakter yaitu berbisa, bergaris hitam, berekor pendek. Deskripsi yang digambarkan dari karakter tersebut merujuk kepada ular
dari famili viperidae (berbisa dan berekor pendek). Viperidae merupakan salah satu famili ular yang memiliki tubuh yang relatif pendek, gempal, dan berbisa tinggi. Selain itu ekor dari ular kelompok ini relatif pendek jika dibandingkan dengan ekor pada kelompok ular yang lain, bahkan sebagian jenis viper yang hidup di gurun memiliki karakter ekor yang tumpul/pendek dari jenis viper dari habitat ain. Anjuran bolehnya membunuh ular dengan deskripsi diatas dikarena ular tersebut memberi madharat, sangat mematikan dan dapat membahayakan nyawa.

Anjuran membunuh ular yang memberi madharat juga berlaku pada kasus wazagh. berikut narasi haditsnya:

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Siapa yang membunuh wazaghah pada pukulan pertama maka dia akan mendapatkan pahala sekian dan sekian. Dan siapa yang membunuhnya pada pukulan yang kedua maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian-dan sekian di bawah kebaikan yang pertama. Dan siapa yang membunuhnya pada pukulan ketiga, maka dia akan mendapatkan kebaikan sekian dan sekian di bawak kebaikan yang kedua.” (HR. Muslim, Sahih Muslim, 7/42)

Dari Ummu Syuraik Ra sesungguhnya Rasulullah Saw memerintahkan untuk membunuh wazagh dan beliau berkata “(wazagh) merupakan hewan yang meniup (api) kepada Nabi Ibrahim Alaihisslaam (HR. Al-Bukhari, Sahih alBukhari 4/141 No. 3359, Muslim, Sahih Muslim 7/42 No. 5981)

Dari Amir bin Sa’ad dari ayahnya sesungguhnya Nabi Saw menyuruh untuk membunuh wazagh dan menamainya fuwaisiq (merusak) (H.R. Muslim, Sahih Muslim 7/42)

Dari Aisyah Ra dari Nabi Saw bersabda: lima binatang merusak boleh dibunuh ketika pada waktu ihram yaitu tikus, kalajengking, elang, gagak dan anjing buas (HR. Bukhari, Sahih al-Bukhari, 4/129)

Berdasar beberapa hadits diatas, anjuran dan perintah membunuh wazagh muncul karena beberapa sebab, diantaranya karena keberpihakan hewan tersebut kepada musuh Allah yang mendukung pembakaran Nabi Ibrahim ‘alaihi salaam, kedua karena wazagh merupakan salah satu jenis dari hewan fasiq yang dapat membawa madharat bagi manusia. Beberapa ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai identitas dari wazagh/wazaghah ini. Sebagian diantaranya menyamakan wazagh dengan cicak dan tokek, sebagian lain mengatakan berbeda dengan memberi sebutan lain sebagai tokek gurun.

Terlepas dari perbedaan pendapat mengenai identitas wazagh yang disebutkan oleh Rasulullah, dapat diambil kesimpulan bahwa bolehnya membunuh binatang fasik yang dapat membawa kerusakan (contohnya hama, penyakit, dan hal lain yang mengancam jiwa), diantaranya seperti: tikus, kalajengking, ular, hewan buas. Madharat yang ditimbulkan bergantung pada situasinya. Misalnya wazagh jika dianggap sebagai cicak dan tokek, dapat menimbulkan madharat sebagai pembawa penyakit karena membuang kotoran sembarangan dan dapat mencemari minuman, makanan, tempat mandi dan wudlu. Madharat ini berlaku jika mereka ditemukan di dalam rumah, sehingga untuk membunuh hewan ini yang masuk ke dalam rumah karena alasan dapat menimbulkan potensi gangguan menjadi alasan dibolehkannya untuk dibunuh. Sedangkan jika wazagh dijumpai diluar rumah maka tidak ada alasan untuk membunuhnya karena pada dasarnya setiap mahluk hidup memiliki peran sebagai penyeimbang ekosistem karena pada dasarnya tidak ada sesuatu pun yang Allah ciptakan sia-sia. Membasmi jenis tertentu dapat menyebabkan ekosistem menjadi tidak seimbang dan berpotensi menimbulkan masalah baru, misalnya dengan hilangnya cicak dan tokek, populasi serangga akan tak terkendali, sehingga dapat menyebabkan potensi wabah dan peningkatan gangguan hama. Wallahu a’lam bishshawaab.

Citation

Bayyinatul Muchtaromah, Nur Kusmiyati, Kholifah Holil, Berry Fakhry Hanifa, Mujahidin Ahmad, Prilya Dewi Fitriasari, Lil Hanifah, Rizky Mujahidin Mulyono, Nur Izza Analisa: „Hewan Melata Dalam Islam“, Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Malang, Tuesday, July 16, 2024.