Logo

Search the Maliki Encyclopedia

Article Edward Wadie Said: Kritikus sastra pengusung gagasan pascakolonial

Edward Wadie Said: Kritikus sastra pengusung gagasan pascakolonial

  • Version 1.0

Biografi

Edward Wadie Said, atau terkadang dikenal dengan Edward William Said, lahir pada 1 November 1935 di lingkungan keluarga Talbiyya di Yerusalem. Ia dan istrinya, Mariam Cortas, memiliki seorang putra, Wadih, dan seorang putri, Najla. Ia merupakan akademisi Amerika-Palestina, aktivis politik, dan kritikus sastra yang meneliti sastra dan hubungannya dengan aspek sosial, politik, dan budaya. Said merupakan pendukung hak-hak politik Palestina dan pembentukan negara Palestina merdeka.

Said adalah seorang pianis hebat yang selama beberapa tahun menulis kritik musik untuk The Nation. Sejak 1977 hingga 1991, ia menjadi anggota tidak tetap dari Dewan Nasional Palestina. Ayah Said, Wadie Ibrahim, adalah pengusaha kaya yang pernah tinggal di Amerika Serikat dan mengambil kewarganegaraan AS. Pada tahun 1947, Wadie memindahkan keluarganya dari Yerusalem ke Kairo untuk menghindari konflik yang dipicu oleh pembagian Palestina oleh PBB menjadi dua wilayah utama, yaitu wilayah Yahudi dan wilayah Arab.

Selama di Kairo, Said belajar di sekolah-sekolah berbahasa Inggris sebelum akhirnya pindah ke Massachusetts Amerika Serikat pada tahun 1951. Ia kuliah di Universitas Princeton (BA, 1957) dan Universitas Harvard (MA, 1960; Ph.D, 1964), dengan spesialisasi sastra Inggris. Ia bergabung dengan Universitas Columbia sebagai pengajar bahasa Inggris pada tahun 1963 dan dipromosikan menjadi profesor bahasa Inggris dan sastra bandingan pada tahun 1969. Said juga bekerja sebagai guru besar tamu di Universitas Yale, dan mengajar di lebih dari 200 universitas lain di Amerika Utara, Eropa, dan Timur Tengah. Pada tahun 1992, Said diangkat menjadi profesor dengan peringkat akademis tertinggi di Universitas Columbia.

Edward Said pernah menjabat sebagai presiden Modern Language Association, editor Arab Studies Quarterly di American Academy of Arts and Sciences, menjadi dewan eksekutif International PEN, dan merupakan anggota American Academy of Arts and Letters, Royal Society of Literature, Council of Foreign Relations, dan American Philosophical Society. Pada tahun 1993, Said mempresentasikan Reith Lectures tahunan BBC, seri enam ceramah berjudul Representasi Intelektual, di mana ia meneliti peran intelektual publik dalam masyarakat kontemporer. Said tutup usia pada 25 September 2003 di Manhattan, New York di usia 67 tahun.

Pemikiran

Pada tahun 1978, Edward Said menerbitkan buku berjudul Orientalism, karyanya yang sangat terkenal dan menjadi salah satu buku ilmiah paling berpengaruh di abad ke-20. Melalui buku tersebut, Said menahbiskan diri sebagai kritikus budaya terkemuka yang menganalisis secara tajam representasi budaya palsu pada pandangan dunia Barat terhadap Timur Tengah — narasi tentang bagaimana Barat memandang Timur. Pembahasan dalam Orientalisme berfokus pada “prasangka Eurosentris yang halus dan terus menerus terhadap orang-orang Arab-Islam dan budaya mereka.” Cara Barat melihat Timur secara bias bersumber dari tradisi panjang budaya Barat dalam menangkap citra Asia dan Timur Tengah yang salah dan diromantisasi. Bahwa representasi budaya semacam itu telah berfungsi, dan terus berfungsi, sebagai pembenaran implisit untuk ambisi kolonial dan imperial kekuatan Eropa dan AS. Demikian pula, Said mengecam malpraktik politik dan budaya rezim penguasa elit Arab yang telah menginternalisasi, semacam representasi palsu dan romantis dari budaya Arab yang diciptakan oleh Orientalis Anglo-Amerika.

Orientalism menjadikan Said sebagai sosok yang sangat berpengaruh di universitas-universitas terkemuka Amerika dan Eropa dan menjadi pahlawan bagi banyak orang. Buku tersebut menjadi kredo intelektual dan dokumen awal dari apa yang disebut studi pascakolonial. Inti dari argumen Said adalah bahwa tidak ada ilmu dan kepakaran yang objektif (netral) mengenai Asia dan, khususnya, dunia Arab. Studi Barat tentang Timur, menurut Said, terikat pada prasangka sistematis tentang dunia non- Barat yang bersifat klise. Sejak zaman Renaissance, tulis Said, “Setiap orang Eropa, dalam memandang Timur, bersifat rasis, imperialis, dan hampir seluruhnya etnosentris.”

Orientalism mengkritik banyaknya studi Barat tentang peradaban Islam yang, alih-alih merupakan studi akademis yang obyektif, lebih sebagai produk intelektualisme politik yang ditujukan untuk menegaskan identitas Eropa. Dengan demikian, studi Oriental berfungsi sebagai metode praktis untuk melihat adanya diskriminasi budaya dan dominasi imperialis — artinya, kaum Orientalis Barat tahu lebih banyak tentang Timur daripada orang- orang Timur itu sendiri: bahwa representasi budaya dari dunia Timur yang diciptakan oleh kaum Orientalis patut dicurigai secara intelektual dan tidak dapat diterima begitu saja sebagai representasi yang benar dan akurat mengenai (orang-orang dan produk-produk) Timur; bahwa sejarah pemerintahan kolonial Eropa dan dominasi politik peradaban mereka di Asia telah terdistorsi bahkan dalam tulisan kaum Orientalis yang paling berpengetahuan dan simpatik sekalipun.

Pemikiran Edward Said memicu banyak kritik dari kalangan akademisi. Para orientalis tradisional seperti Albert Hourani, Robert Graham Irwin, Nikki Keddie, Bernard Lewis, dan Kanan Makiya menerima konsekuensi negatif karena buku Orientalism karya Said mempengaruhi persepsi publik atas integritas intelektual dan kualitas keilmuan mereka. Sejarawan Keddie mengatakan bahwa karya kritis Said tentang Orientalisme adalah penyebab munculnya persepsi buruk mengenai disiplin ilmu mereka. Dalam Orientalism, Said menggambarkan Bernard Lewis, Orientalis Anglo-Amerika, sebagai “contoh sempurna [dari] Orientalis mapan [yang karyanya] hendak menampilkan keilmuan liberal yang obyektif, namun kenyataannya sangat dekat dengan propaganda.”

Lewis memberikan kritik keras terhadap Orientalisme Said, menuduhnya telah mempolitisasi studi ilmiah Timur Tengah (dan studi Arab pada khususnya) dan lalai mengkritik temuan ilmiah para orientalis. Said membalas tuduhan tersebut dengan menunjukkan bahwa Lewis dalam The Muslim Discovery of Europe-nya mengajukan klaim tentang pencarian pengetahuan Barat terhadap masyarakat lain adalah unik karena menunjukkan keingintahuan yang tidak memihak, yang tidak dibalas oleh umat Islam terhadap Eropa. Lewis mengatakan bahwa “pengetahuan tentang Eropa [adalah] satu-satunya kriteria yang dapat diterima untuk pengetahuan sejati.” Munculnya ketidakberpihakan akademis dianggap sebagai bagian dari peran akademis Lewis untuk menggelorakan “perang salib anti-Islam, anti-Arab, Zionis, dan Perang Dingin.”

Orientalism menjadi teks dasar dalam bidang pascakolonial. Sahabat dan musuh Said mengakui pengaruh transformatif orientalisme terhadap ilmu pengetahuan di bidang humaniora. Para kritikus mengatakan bahwa pemikiran Said telah membatasi gerakan kebebasan intelektual, sementara para pendukungnya mengatakan bahwa ide-ide Said justru membebaskan secara intelektual. Studi yang ditawarkan Said berusaha menjelaskan dunia pascakolonial, masyarakatnya, dan ketidakpuasan mereka, di mana teknik penyelidikan dalam Orientalisme dapat diterapkan juga dalam studi budaya Timur Tengah. Model analisis yang diterapkan Said dalam Orientalism banyak dipraktikkan dalam studi sejarah seperti kajian pascakolonial India oleh Gyan Prakash, Nicholas Dirks, dan Ronald Inden, dalam studi kebudayaan Kamboja modern oleh Simon Springer, dan dalam bidang sastra oleh Homi K. Bhabha, Gayatri Chakravorty Spivak, dan Hamid Dabashi.

Di Eropa Timur, Milica Bakić–Hayden mengembangkan konsep Nesting Orientalisms (1992) yang diinspirasi oleh karya Larry Wolff Inventing Eastern Europe: The Map of Civilization on the Mind of the Enlightenment (1994) dan karya Said Orientalism (1978). Konsep Milica Bakić–Hayden ini kemudian mempengaruhi kajian sejarawan Bulgaria Maria Todorova tentang Etnologi Balkanisme (Ethnologia Balkanica, 1997). Pengaruh Said juga mempengaruhi, misalnya, pemikiran sejarawan Lorenzo Kamel dalam karyanya The Impact of Biblical Orientalism in Late Nineteenth- and Early Twentieth-Century Palestine (2014). Konsep Kamel tentang “Biblical Orientalism” menawarkan ide kontroversial bahwa “Tanah Suci” sebagai sebuah tempat tidak memiliki sejarah manusia selain sebagai tempat terjadinya cerita-cerita Bibel.

Wacana pascakolonial yang disajikan dalam Orientalism Said juga mempengaruhi bidang teologi, dimana metode pembacaan analitis digunakan untuk mendekati kitab suci dari perspektif kolonial, seperti tulisan Nur Masalha The Bible and Zionism: Invented Traditions, Archaeology and Post-Colonialism in Palestine – Israel (2007) dan tulisan Leela Gandhi Postcolonial Theory (1998). Keduanya menjelaskan bagaimana pascakolonialisme diterapkan pada konteks teologis, filosofis, dan historis yang lebih luas.

Bibliographical Entries

  • Wikipedia. Edward Said. Diakses pada 16 November 2020 dari https://en.wikipedia.org/wiki/Edward_Said#
  • Owen, R. (2012). Edward Said and the two critiques of orientalism. Diakses pada 16 November 2020 dari https://www.mei.edu/publications/edward-said- and-two-critiques-orientalism
  • Ruthven, M. (2003). Edward Said: Controversial literary critic and bold advocate of the Palestinian cause in America. Diakses pada 16 November 2020, dari https://www.theguardian.com/news/2003/sep/26/gu ardianobituaries.highereducation
  • Palestinian Journeys. (2018). Edward W. Said. Diakses pada 16 November 2020 dari https://www.paljourneys.org/en/biography/16018/e dward-w-said
  • Bernstein, R. (2003). Edward W. Said, literary critic, and advocate for Palestinian independence. Diakses pada 16 November 2020 dari https://www.nytimes.com/2003/09/26/arts/edward- w-said-literary-critic-advocate-for-palestinian- independence-dies-67.html

Citation

Whida Rositama: „Edward Wadie Said: Kritikus sastra pengusung gagasan pascakolonial“, Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,