Logo

Search the Maliki Encyclopedia

Article Rudolf Steiner, Antroposofi, dan Kurikulum Waldorf

Rudolf Steiner, Antroposofi, dan Kurikulum Waldorf

  • Version 1.0
  • Published Wednesday, July 17, 2024

Pada akhir abad 19, seorang filsuf dan ilmuwan bernama Rudolf Steiner ramai diperbincangkan pelaku pendidikan di wilayah Eropa. Hal tersebut dikarenakan beliau berhasil mengembangkan suatu pendekatan pembelajaran yang berfokus pada pengembangan totalitas. Hal tersebut dikenal masyarakat hingga kini dengan sebutan pendekatan Waldorf. Istilah tersebut digunakan bergantian dengan Steiner. Menggambarkan sekolah dengan kurikulum berdasarkan ajaran Steiner. Salah satu yang mendasari pemikiran tersebut adalah keyakinan Steiner bahwa 7 tahun pertama kehidupan manusia merupakan periode belajar imitasi (meniru) berbasis sensoris 1C. P. Edwards, 2002. Periode tersebut juga efektif digunakan untuk mengembangkan 6 aspek perkembangan anak. Oleh karena itu, anak seharusnya didorong untuk bermain dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar mereka.

Seluruh tinjauan yang berkaitan dengan keyakinan filosofis Steiner, termasuk dalam hal filosofi pendidikan, harus dimulai dengan antroposofi. Antroposofi adalah gerakan spiritual-sains yang berakar dari agama Kristen. Secara sederhana, antroposofi merupakan eksplorasi diri manusia yang digabungkan dengan hal-hal yang bersifat sprititual 2J. L. Roopnarine and J. E. Johnson, 2009. Tujuan antroposofi yakni untuk memunculkan kebenaran baru yang tidak dapat disatukan dengan prinsip atau ajaran agama tertentu. Komponen penting dari antroposofi yakni oneness with the world (kesatuan dengan dunia) dan search fof self (pencarian diri). Steiner merasa bahwa melalui filosofi antroposofi, nilai dalam mempersiapkan raga, pikiran, dan jiwa untuk pembelajaran kehidupan yang berlanjut terus menerus akan bisa disadari dengan baik 3 B. Uhrmacher, 2008 4A. L. Larrison and A. J. Daly, 2011.

Senada dengan antroposofinya, Steiner menciptakan teori tersendiri tentang pendidikan. Menurut Steiner, pendidikan yang ditawarkan kepada anak harus sesuai dengan tahap perkembangannya. Di Indonesia sendiri, tahap perkembangan anak berdasarkan kelompok usia dan aspek perkembangan telah tercantum dalam Standar Tingkat Pencapaian Perkembangan Anak (STPPA). Steiner meyakini bahwa melalui pengembangan anak secara keseluruhan disertai dengan pemahaman sifat anak secara individualitas, maka mereka akan dapat mencapai target perkembangan secara optimal 5L. Halimah, 2009. Oleh karena itu, Steiner menyusun sebuah kurikulum yang kreatif dan seimbang agar anak dapat tumbuh menjadi orang yang kreatif dan balance (seimbang), dalam artian anak dapat memahami pengalaman dari pembelajaran seni dan ilmu pengetahuan sekaligus 6Hasbullah, 2016. Kurikulum yang disusun oleh Steiner juga diharapkan dapat memberikan kesempatan bagi setiap anak untuk mengembangkan proses berpikir, perasaan, dan menumbuhkan rasa ingin tahu.

Kurikulum Waldorf berprinsip “memelihara anak secara keseluruhan dengan kepala, hati, dan tangan” 7R. B. Dancy, 2004. Adapun karakteristik program pendidikannya terbagi dalam 3 karakteristik khusus yaitu menciptakan masyarakat pembelajar yang peduli, mengajar untuk mendorong perkembangan dan pembelajaran, serta menciptakan kegiatan pembelajaran yang tepat. Yang dimaksud dengan menciptakan masyarakat yang peduli yakni meliputi pentingnya kepekaan anak terhadap lingkungan sekitarnya, pentingnya imitasi dan permainan bagi anak, serta kebermanfaatan dalam pengelompokan campuran pada saat pembelajaran. Sedangkan yang dimaksud dengan mengajar untuk mendorong perkembangan dan pembelajaran yakni guru harus sebisa mungkin menyediakan lingkungan yang menyenangkan dan responsif. Selain itu, guru juga diharapkan memiliki 3 perasaan: antusiasme, rasa ingin melindungi, dan penghormatan 8A. L. Larrison and A. J. Daly, 2011. Dan yang terakhir, yang dimaksud dengan membuat kegiatan pembelajaran yang tepat yakni pembelajaran yang dapat mendorong perkembangan anak secara holistik, menggabungkan berbagai jenis disiplin ilmu, dan juga merangkul berbagai perbedaan. Oleh karena itu, kurikulum Waldorf seringkali digunakan sebagai acuan bagi sekolah-sekolah khusus.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tujuan utama kurikulum Waldorf bukanlah untuk mengajarkan keterampilan akademik dasar atau membantu anak dalam memenuhi nilai ujian. Guru diwajibkan untuk menyadari kemajuan perkembangan anak secara perorangan sebagai proses yang panjang. Informasi tentang kemajuan perkembangan anak kemudian dikumpulkan oleh guru secara bijaksana agar tidak membuat anak tertekan. Setelah dikumpulkan dari berbagai sumber, pengalaman, dan situasi, guru tidak menggunakan informasi tersebut untuk menilai atau mengukur kemampuan siswa, apalagi dengan menerapkan standarisasi. Namun guru dapat mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang anak supaya dapat memfasilitasi pembelajarannya dengan baik. Jenis penilaian seperti ini berfungsi untuk memberikan pembelajaran yang penting dengan cara yang bermakna sekaligus mendorong keintiman hubungan antara guru dan siswa 9N. Ineu, 2003.

Dalam pengembangannya, tentu kurikulum Waldorf juga memiliki kelebihan dan kekurangan jika dibandingkan dengan kurikulum lainnya. Hal tersebut dapat diringkas sebagai tabel berikut 10F. Ndeot, 2016:

Tabel 2. Kelebihan dan Kekurangan Kurikulum Waldorf

KelebihanKekurangan
1.Pendekatan ini menekankan bahwa
anak seusia dini merupakan
masa keemasan dalam hidup
manusia,oleh karena itu pengembangan
segala aspek harus
seimbang dan maksimal
1. Tidak dapat diimplikasikan pada sekolah umum atau sekolah khusus agama di luar kristen,
hal tersebut dikarenakan penguatan
antroposofi yang kuat.
2.Permainan yang disajikan bersifat
sederhana dan terbuka sehingga
akan mendorong imajinasi anak
2.Meski bertujuan untuk
menyeimbangkan seluruh aspek, dalam praktik pendekatan ini lebih
banyak condong kepada aspek
sosioemosional daripada aspek
lainnya
3.Seluruh kegiatan pembelajaran tidak
diperbolehkan untuk bersifat akademik,
melainkan kegiatan penerapan.
Hal tersebut bertujuan
untuk mengembangkan kreatifitas anak
4.Praktik pembelajaran Waldorf salah satunya dengan menggabungkan anak dari berbagai
usia,ras, agama, dan budaya yang berbeda.
Hal ini akan membentuk sikap
menghargai, menghormati
dan juga gotong royong
5.Hubungan dan kerjasama yang erat antara orang tua, guru dan anak juga ditekankan sehingga perhatian yang mendukung tumbuh kembang anak akan tercurahkan secara penuh

Notes

  • 1
    C. P. Edwards, 2002
  • 2
    J. L. Roopnarine and J. E. Johnson, 2009
  • 3
    B. Uhrmacher, 2008
  • 4
    A. L. Larrison and A. J. Daly, 2011
  • 5
    L. Halimah, 2009
  • 6
    Hasbullah, 2016
  • 7
    R. B. Dancy, 2004
  • 8
    A. L. Larrison and A. J. Daly, 2011
  • 9
    N. Ineu, 2003
  • 10
    F. Ndeot, 2016

Bibliographical Entries

  • C. P. Edwards (2002), Three Approaches from Europe: Waldorf, Montessori, and Reggio Emilia. J. Dev. Care, Educ. Young Childern, vol. 4, no. 1, p. 2002.
  • Hasbullah (2016), Model Pengembangan Kurikulum PAUD. As-Sibyan, 1, no. 1, pp. 21–28.
  • L. Roopnarine and J. E. Johnson (2009) Pendidikan Anak Usia Dini dalam Berbagai Pendekatan. V. Jakarta: Prenada Media Group, 2009.
  • L. Halimah (2009), Pengembangan Kurikulum Pendidikan Anak Usia Dini. Bandung: Refika Aditama
  • F. Ndeot (2016), Pentingnya Pengembangan Kurikulum di PAUD. J. STKIP St. Paulus, vol. 1, no. 10, pp. 30–36.
  • B. Dancy (2004), The Wisdom of Waldorf: Education for the Future By Rahima Baldwin Dancy.  Educ. J., vol. 2, no. 123, p. 2004.
  • Uhrmacher (2008), Uncommon Schooling : A Historical Look at Rudolf Steiner , Anthroposophy , and Waldorf Education.  Curric. Inq., vol. 25, no. 4, pp. 381–406.

Citation

Rikza Azharona Susanti: „Rudolf Steiner, Antroposofi, dan Kurikulum Waldorf“, Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Malang, Wednesday, July 17, 2024.