Mammalia
- Version 1.0
- Published Tuesday, July 16, 2024
Table of Contents
Mamal merupakan salah satu kelompok hewan yang begitu dikenal oleh masyarakat, dimana di dalamnya termasuk hewan-hewan domestik seperti hewan ternak, kucing, kelinci, bahkan manusia. Mamal adalah hewan bertulang belakang (vertebrata) yang bersifat homoitermik, mereka memiliki rambut, dan sistem reproduksinya dengan melahirkan anaknya dan pada individu betina memiliki glandulamamae sehingga kelompok hewan ini dikenal sebagai hewan menyusu. Mamal mempunyai susunan gigi yang bervariasi, artinya sudah dibedakan atas gigi seri (incisors), gigi taring (canine) dan gigi geraham (molar), terkecuali pada sebagian besar Mamal laut. Tulang rahang bawah (mandible) Mamal tersusun oleh tulang tunggal, dan memiliki sel darah merah tidak berinti. Tulang pendengar terdiri atas tiga tulang yaitu landasan, martil dan sanggurdi (Explotasia, dkk., 2019). Sebagai hewan paling berkembang, mamal memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi. Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh setiap kelompok hewan ini menunjukkan bukti akan kekuasaan Allah SWT. Hal ini termaktub dalam Al-qur’an surah Al-A’laa (87) ayat 2-3:
“Yang menciptakan, dan menyempurnakan penciptaanNya. Dan yang menentukan kadar masing-masing dan memberi petunjuk.” (Q.S. Al-A’laa (87): 2-3).
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah SWT menciptakan makhluknya dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan kadarnya masing-masing demi kelangsungan hidupnya. Dengan begitu hewan-hewan yang ada di muka bumi ini dapat bertahan hidup dan beradaptasi sesuai dengan lingkungannya
1. Banteng (Bos javanicus)
Banteng (Bos javanicus) di dunia dikelompokkan menjadi tiga subspesies, di Indonesia terdapat 2 subspesies yang hidup yaitu Bos javanicus javanicus yang tersebar alami di Pulau Jawa, dan Bos javanicus lowi yang ada di Kalimantan. Sedangkan satu subspesies lainnya yaitu Bos javanicus birmanicus dapat dijumpai di daratan Asia yang meliputi Myanmar, Kamboja, Vietnam, Thailand, dan Laos. Perbedaan dari ketiga subspesies tersebut dapat dilihat pada warna dan ukuran tubuh banteng. Secara umum, ukuran banteng yang ada di Pulau Jawa lebih besar daripada banteng yang ada di Asia, sedangkan banteng Kalimantan mempunyai ukuran tubuh yang paling kecil di antara banteng-banteng lainnya (Kementerian Kehutanan, 2011 ). Banteng memiliki nama lokal yang berbeda di setiap daerah. Di Pulau Jawa, banteng dikenal dengan sebutan sapi alas, sedangkan di Kalimantan namanya klebo dan temadu (Gardner, dkk., 2016).
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Artiodactyla
Famili: Bovidae
Genus: Bos
Spesies: Bos javanicus
Sinonim
Bos banteng (Wagner, 1844)
Nama Umum
Banteng, Banteng Jawa, Sapi Utan, Bali Cattle,
Banteng dikenal sebagai hewan yang hidupnya berkelompok. Hewan ini memiliki daya penciuman dan pendengaran yang tajam, saat makan banteng sering mengangkat kepalanya sambil mengibas-ibaskan telinganya untuk mendeteksi apakah ada bahaya. Apabila ada tanda bahaya, banteng yang pertama kali mendengar tanda bahaya itu akan segera menghadap ke arah sumber bahaya sambil memberi isyarat kepada banteng yang lainnya. Jika ada bahaya mengancam, banteng-banteng muda dan betina terlebih dahulu masuk ke dalam hutan kemudian disusul oleh banteng dewasa jantan (Pratiwi, 2006).
Dalam tiap-tiap kelompok biasanya terdapat beberapa banteng jantan muda (2-5 ekor) salah satunya akan menggantikan sebagai ketua kelompok setelah melewati ritual kompetisi memperebutkan posisi ketua kelompok. Banteng yang kalah akan memisahkan diri dari kelompoknya dan terkadang diikuti oleh beberapa banteng betina lainnya kemudian membentuk kelompok baru (Alikodra, 1990). Selain itu banteng tua akancenderung memisahkan diri dari kelompok dan hidup soliter sehingga rawan untuk menjadi mangsa predator (Pratiwi, 2006).
Banteng memiliki musim kawin sekali dalam satu tahun dan melakukan perkawinan dalam periode tertentu tergantung dari lokasi habitatnya (Nurdiansyah, 2015). Musim kawin banteng di Taman Nasional Baluran, menurut petugas, berlangsung setelah musim kawin rusa, yaitu antara bulan Agustus atau September, yang ditandai oleh banyaknya banteng jantan mengeluarkan suara lenguhan. Masa kebuntingan banteng adalah 9,5-10 bulan (Pratiwi, 2006). Usia banteng maksimum berkisar antara 10-25 tahun. Dalam hidupnya, banteng betina dapat menghasilkan keturunan sebanyak 21 ekor anak. Banteng betina mengalami kematangan seksual dan siap bereproduksi sekitar usia 3 tahun. Sedangkan banteng jantan lebih dari 3 tahun. Banteng biasanya hidup secara berkelompok dengan jumlah 2-40 individu dalam satu kelompok yang terdiri banteng jantan dewasa, banteng betina dewasa dan anak-anaknya (Utami, dkk., 2012). Sex ratio antara banteng jantan dengan banteng betina dalam suatu populasi berkisar antara 1:3 hingga 1:4.
Banteng memiliki kekerabatan dekat dengan sapi. Banteng memiliki ukuran yang relatif besar, tubuh tegap dan kuat dengan bahu depan lebih tinggi daripada bagian belakang. Banteng memiliki tinggi lebih kurang 160 cm pada bagian pundaknya dan panjang badannya sekitar 230 cm. Pada banteng jantan biasanya memiliki berat sekitar 680 – 810 kg, sedangkan banteng betina bobotnya lebih ringan. Pada bagian kepala terdapat sepasang tanduk. Pada banteng jantan dewasa tanduk berwarna hitam mengkilap, runcing dan melengkung menghadap ke depan (media enterior), sedangkan pada betina dewasa tanduknya lebih kecil dan melengkung ke arah belakang. Pada bagian tengah dada terdapat gelambir (dewlap) yang memanjang dari bagian pangkal kaki depan hingga bagian leher, tetapi tidak mencapai bagian kerongkongan (Alikodra, 1990).
Kaki banteng bagian bawah berwarna putih sehingga terkesan banteng memakai kaos kaki, begitu pula pada bagian dekat anus, punuk, sekitar mata dan moncongnya. Karakter warna tersebut merupakan ciri khas yang dimiliki oleh banteng. Banteng jantan mempunyai kulit yang berwarna kehitaman atau coklat gelap, tanduknya panjang melengkung menghadap atas sekitar 60-75 cm. Sedangkan pada banteng betina, kulitnya berwarna coklat kemerahan dan tanduknya cenderung lebih pendek mengarah ke dalam dan tidak memiliki punuk (Utami, dkk., 2012). Warna kulit anakan banteng baik jantan maupun betina lebih terang dibandingkan warna kulit saat dewasa. Banteng jantan muda (anak) warna kulit akan mulai lebih gelap sejak berumur sekitar 12-18 bulan (Alikodra, 1990).
Banteng dapat didomestikasi dan salah satu contoh hasil domestikasinya adalah sapi Bali. Hasil domestikasi banteng yang berupa sapi bali (Bos taurus Linnaeus) telah berlangsung sejak lama, sapi Bali memiliki berat badan rata-rata 250-450 kg (Guntoro, 2002). Sapi asli Indonesia secara genetik dan fenotipik adalah hasil turunan dari banteng yang telah didomestikasi ataupun hasil persilangan sapi asli Indonesia dengan sapi eksotik yang kemudian mengalami domestikasi serta adaptasi terhadap lingkungan (Abdullah, dkk., 2008). Kelompok sapi yang termasuk dalam kategori pertama adalah sapi Bali sebagai hasil domestikasi langsung dari banteng (Hardjosubroto, 2004). Hasil domestikasi ini telah dipelihara secara turun-temurun sejak 3.500 SM oleh masyarakat Pulau Bali. Hal ini juga dapat ditelusuri dari bukti sejarah pada Situs Gilimanuk (Sawitri, dkk., 2014).
Keragaman jenis satwa liar banteng (Bos javanicus) merupakan sumber plasma nutfah yang mempunyai penyebaran terbatas di Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan. Status konservasi satwa ini termasuk dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan termasuk dalam kategori Appendix II CITES (Utami, dkk., 2012).
Keberadaan banteng (Bos javanicus) di Pulau Jawa mengalami ancaman serius, sehingga ditetapkannya status konservasi banteng dalam IUCN Red List of Threatened Species dalam jenis hewan yang terancam punah (Endangered species).Distribusi banteng ini sangat terbatas pada 13 lokasi yang terpisah di Pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa adanya tekanan yang mengakibatkan fragmentasi lahan oleh manusia. Hal ini dapat menyebabkan sulitnya usaha konservasi banteng dan kondisi ini juga diperparah oleh adanya perburuan liar dan musuh alami. Ancaman lainnya terhadap banteng yaitu kerusakan dan konversi habitat, adanya penyakit dan hibridisasi dengan sapi ternak, kemungkinan terjadinya inbreeding depression dan adanya perubahan iklim global Imron & Sinaga, 2007).
Saat ini, banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri (Alikodra, 1990).
Banteng (Bos javanicus)memiliki habitat di daerah yang berhutan lebat atau hutan bersemak mulai dari dataran rendah hingga dataran dengan ketinggian 2.100 mdpl. Distribusi banteng ini di Indonesia meliputi Jawa, Bali dan Kalimantan (Utami, dkk., 2012). Sebaran alami banteng yang meliputi kawasan Asia Tenggara, mulai dari Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam dan Kamboja hingga ke Yunan China. Sementara itu, banteng telah dinyatakan punah di Semenanjung Malaysia (Francis, 2008).
Banteng termasuk jenis hewan yang adaptif dan dapat hidup pada habitat yang berbeda, seperti di kawasan dengan curah hujan yang sedikit, di hutan musim yang menggugurkan daun (deciduous monsoon forest), serta di padang rumput. Banteng juga dapat hidup di habitat dengan curah hujan tinggi yang didominasi oleh hutan hijau sepanjang tahun (evergreen forest). Di daratan Asia, umumnya banteng menyukai hutan bambu dan hutan musim yang didominasi oleh famili Dipterocarpaceae. Di Myanmar, banteng ditemukan baik di hutan monsoon maupun hutan hijau sepanjang tahun (Timmins et al., 2008).
Banteng (Bos javanicus, d’Alton) dikonservasi serta didomestikasi sebagai sapi bali (Bos taurus,Linnaeus) sejak 3.500 SM. Berdasarkan penelitian yang dilakukkan oleh Sawitri et al. (2014), identifikasi hubungan kekerabatan banteng dari berbagai daerah di Indonesia melalui analisis jarak genetik antar populasi dan jarak genetik antar individu dengan metode multiple alignment sekuen dari program Clustal X 1.83 serta analisis filogenetik menggunakan metode neighbor-joining. Morfometrik banteng di Kebun Binatang Surabaya dan Kebun Binatang Ragunan telah mengalami perubahan secara fisik dan biologis, hal ini terjadi karena jarak genetik di dalam populasi sebesar 0,000. Di kawasan konservasi, morfometrik banteng paling besar dari Taman Nasional Baluran dilihat dari ukuran telapak kaki dan jarak kaki. Hasil multiple alignment 657 urutan basa fragmen D-loop DNA mitokondria, terdiri dari enam haplotipe yaitu banteng 3 macam haplotipe dan sapi bali 5 macam haplotipe, dengan demikian sapi bali memiliki keragaman genetik lebih tinggi. Jarak genetik antar haplotipe sangat kecil (0,000-0,009), sehingga hubungan kekerabatan antara banteng dan sapi bali sangat dekat.
Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Saijuntha et al. (2013) yang menganalisis hubungan kekerabatan Banteng (Bos javanicus) dari berbagai negara yakni Kalasin, Indonesia, Thailand, dan Kamboja serta dengan Bos sauveli memperoleh hasil seperti yang digambarkan dalam pohon fologeni pada Gambar 2. Pohon filogenetik menunjukkan posisi Bos javanicus dari Kalasin dalam sub-suku Bovidae. Pohon itu dibangun menggunakan metode the neighbor-joining menggunakan urutan Cytb. Nilai yang ditunjukkan di setiap cabang adalah persentase Bootstrap. Spesimen dari penelitian ini ditandai dengan asterisk (Saijuntha, et al., 2013).
Berdasarkan dua hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa banteng yang tersebar di berbagai daerah tidak sepenuhnya sama karena ada yang telah mengalami evolusi secara mikro. Hal itu menunjukkan bawa Allah menciptakan makhluk hidup di bumi sangatlah dinamis dan beragam dari tumbuhan, hewan, hingga manusia. Keanekaragaman tersebut merupakan salah satu kekuaasaan Allah sebagaimana dijelaskan dalam Al- Qur’an Q.S. al-Baqarah (2): 164
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air,lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.(Q.S.al-Baqarah (2): 164).
2. Gajah Asia (Elephas maximus)
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Proboscidea
Famili: Elephantidae
Genus: Elephas
Spesies: Elephas maximus
Nama Umum Gajah Asia, Asian Elephant, Indian Elephant
Gajah Sumatera merupakan hewan herbivor-frugivor, makanan alami gajah diantaranya adalah rumput, semak, daun, dan buah (Maryanto, Achmadi, & Kartono, 2008). Gajah sumatera memerlukan konsumsi sekitar 200-300 kg /hari atau sekitar 5-10% dari bobot badannya. Gajah mengambil makanan dengan memanfaatkan belalai, gading, dahi, kaki depan, dan mulut. Pada saat proses makan, gajah mengambil makanannya dengan bantuan belalai, namun tidak semua makanannya dimasukkan ke mulut, sisanya ditebarkan ke tempat lain atau bahkan kepunggungnya sendiri. Terkadang gajah merobohkan pohon untuk mengambil daun muda dari pohon tersebut, sehingga seringkali tempat makan gajah cenderung rusak (Betriaroza, 2010).
Gajah merupakan Mamalia terestrial dan aktif baik di siang (diurnal) maupun malam hari (nokturnal). Sebagian besar mereka aktif dari 2 jam sebelum petang sampai 2 jam setelah fajar untuk mencari makan (krepuskular). Gajah mencari makan selama 16-18 jam/hari dan terkadang dilakukan di malam hari. Gajah seringkali meninggalkan banyak sisa makanan dan cenderung destruktif. Gajah memiliki kebiasaan berendam di sungai dan akan minum dengan mulutnya, namun jika kondisi sungai yang dangkal atau di rawa, gajah akan minum dengan menggunakan belalainya. Gajah mampu menghisap sebanyak lebih kurang 9 liter air dalam satu kali isap (Betriaroza, 2010). Ciszek (1999) mengatakan bahwa gajah Sumatera memerlukan air sekitar 35- 50 galon atau sekitar 140 liter air per ekor dalam sehari dan tidak dapat hidup jauh dari sumber air. Ketika sumber-sumber air mengalami kekeringan, gajah juga dapat melakukan penggalian air sedalam 50- 100 cm di dasar-dasar sungai yang mengalami kekeringan dengan menggunakan kaki depan dan belalainya.
Gajah yang dipelihara dengan baik dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan dengan yang berada pada lokasi dengan ancaman habitat yang cukup tinggi. Namun, gajah Sumatera di alam mempunyai kemampuan hidup hingga 70 tahun lamanya dan untuk gajah yang ada di penangkaran rata-rata memiliki kemampuan hidup hingga 65,5 tahun (Ciszek, 1999). Selama hidupnya gajah jantan tidak terikat pada satu ekor pasangannya. Gajah betina mengalami kematangan seksual dan siap untuk bereproduksi setelah umur 8-10 tahun. Sedangkan gajah jantan setelah berumur 12-15 tahun. Gajah betina memiliki masa reproduksi 4 tahun sekali dengan masa kebuntingan sekitar 19-21 bulan dan hanya melahirkan seekor anak dengan berat badan lebih kurang 90 kg dengan tinggi bahu 90 cm. Seekor anak gajah akan menyusu selama lebih kurang 2 tahun dan hidup dalam pengasuhan selama 3 tahun (Maryanto, dkk., 2008). Siklus estrus gajah betina sekitar 21 hari. Gajah betina akan menerima kopulasi pada hari pertama estrus. Tidak terdapat musim yang spesifik dalam kegiatan reproduksi. Gajah jantan tidak dapat kawin sebelum mampu mendominasi gajah jantan dewasa lainnya (Ciszek, 1999).
Gajah yang ada di dunia dapat dikelompokan menjadi dua kelompok yaitu gajah Asia (Elephas) dan gajah Afrika (Loxodonta). Gajah Afrika ukuran tubuhnya lebih besar dari gajah Asia. Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu subspesies dari gajah Asia yang endemik di wilayah Sumatera (Betriaroza, 2010). Gajah ini memiliki ciri-ciri yang membedakannya dengan gajah-gajah lainnya, antara lain tubuhnya yang berwarna nila jada hingga hitam lontong. Pada sebagian besar gajah jantan mempunyai gading 0,5-1,7 m dengan bobot 1500-15000 gr (satu buah) dan sebaliknya gajah betina mempunyai gading yang sangat pendek bahkan tidak mempunyai. Tinggi tubuh gajah jantan sekitar 1,7-2,6 m dan betina 1,5-2,2 m (Explotasia, dkk., 2019).
Gajah Sumatera memiliki tubuh yang besar. Berat Gajah Sumatera berkisar antara 3000 – 4000 kg. Gajah Sumatera ini mempunyai panjang kepala dan badan yaitu 150-550 cm. Kulit Gajah sangat tebal dan kering, terdapat rambut-rambut halus di bagian tubuhnya (Ciszek, 1999). Selain itu, terdapat banyak benjolan pada kulit Gajah Sumatera, bergelombang dan sangat elastis. Pada kulit Gajah tidak terdapat kelenjar keringat, tetapi hanya ada kelenjar susu dan dua buah kelenjar temporal pada setiap sisi samping kepala (Betriaroza, 2010).
Gajah Sumatera mempunyai daun telinga yang lebar untuk menutupi bagian bahunya. Ukuran telinga gajah Sumatera relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan gajah Afrika. Daun telinga gajah berupa tulang rawan yang diselubungi kulit tipis. Telinga pada gajah ini berfungsi sebagai pengaturan suhu tubuh dan alat komunikasi. Belalai gajah Sumatera memiliki satu buah bibir di ujung belalainya, hal ini berbeda dengan gajah Afrika yang memiliki dua bibir pada ujung belalainya (Ciszek, 1999). Belalai ini berfungsi sebagai tangan, alat pernapasan, sebagai senjata, dan alat komunikasi. Fungsi lain dari belalai adalah sebagai indera penciuman yang perkembangannya baik sehingga arah datangnya bau dapat terindikasi (Leckagul & McNeely, 1977).
Gatling pada gajah Sumatera hanya dimiliki oleh gajah jantan tetapi pada gajah afrika, baik jantan maupun betina memiliki gading. Gatling gajah merupakan diferensiasi dari gigi serinya (Betriaroza, 2010). Pada gajah jantan, sepasang gigi seri yang memanjang akan bertambah 17 cm per tahunnya sehingga menjadi gading. Gajah juga memiliki kaki yang besar dan terdiri atas jari kaki dan kuku kaki. Pada gajah Sumatera, Tapak kaki bagian depannya berbentuk bulat dengan lima kuku dan tapak kaki belakang berbentuk bulat telur dengan empat buah kuku. Hal ini yang membedakan dengan gajah Afrika yang memiliki empat jari kaki di bagian depan dan tiga jari kaki di bagian belakang (Ciszek, 1999).
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan salah satu anggota dari Ordo Proboscidea yang terancam kelestariannya (Jajak, 2004). Gajah Sumatera merupakan subspesies dari gajah Asia (Elephas maximus). Sementara taksonomi subspesies Elephas maximus bervariasi, antara lain E. maximus indicus di daratan Asia, E. maximus maximus di Sri Lanka, dan E. maximus sumatranus di pulau Sumatera, Indonesia. Gajah Kalimantan secara tradisional termasuk dalam E. maximus indicus atau E. maximus sumatranus. Penunjuk subspesies ini terutama didasarkan pada \ ukuran tubuh dan perbedaan kecil dalam warna, ditambah fakta bahwa E. maximus sumatranus memiliki telinga yang relatif lebih besar dan sepasang tulang rusuk yang besar (Mahanani, 2012). Penunjuk subspesies Sri Lanka hanya didukung secara lemah oleh analisis lokus alozim (Nozawa & Shotake, 1990), tetapi tidak dengan analisis urutan DNA mitokondria (mtDNA) (Fernando, dkk., 2000; Fleischer, dkk., 2001). Namun, pola variasi mtDNA saat ini menunjukkan bahwa subspesies Sumatera adalah monofiletik (Fleischer, dkk., 2001), dan oleh sebab itu takson ini dapat didefinisikan sebagai unit signifikan secara evolusioner (ESU). Hal ini menunjukkan bahwa Gajah Sumatera harus dikelola secara terpisah dari Gajah Asia lainnya di penangkaran, dan juga menjadi alasan untuk memprioritaskan konservasi Gajah Sumatera di alam liar.
Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus)adalah salah satu flagship species yang menjadi simbol untuk meningkatkan kesadaran konservasi serta menggalang kontribusi dari semua pihak. Saat ini, gajah Sumatera termasuk dalam jenis satwa yang dilindungi. Gajah Sumatera sudah dilindungi oleh undang-undang sejak masa pendudukan Belanda dengan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 No 134 dan 266 (Jajak, 2004). Lalu diperkuat dengan SK Menteri Pertanian RI Nomor 234/Kpts/Um/1972. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta menurut Peraturan Perundangan RI Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, gajah Sumatera merupakan satwa langka. Dalam CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna) gajah termasuk dalam daftar Appendix I (Explotasia, dkk., 2019). Sedangkan menurut IUCN Red List gajah sumatera dikategorikan Critically Endangered, artinya sudah kritis/sangat terancam kepunahan.
Soehartono dkk. (2007) mengungkapkan bahwa gajah Asia tersebar di tiga region besar yaitu, 1). India (meliputi India, Nepal, Bhutan dan Bangladesh), 2). Asia Tenggara (meliputi Cina, Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos, Vietnam dan Malaysia), dan 3). Asia Kepulauan yang termasuk dalam Kepulauan Andaman (Sri Lanka, Sumatera (Indonesia) dan Borneo (meliputi Malaysia dan Indonesia)). Di Indonesia, populasi gajah Sumatera pada tahun 2017 diperkirakan sejumlah 1.694-2.038 individu yang tersebar di tujuh provinsi yang meliputi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung.
Populasi gajah sumatera dari tahun ke tahun semakin menurun. Populasi gajah sumatera diperkirakan telah mengalami penurunan sekitar 35 % dari tahun 1992, dan nilai ini merupakan penurunan yang besar dengan waktu yang relatif pendek (Soehartono, dkk., 2007). Laporan Departemen Kehutanan tahun 2007 menyebutkan 65% populasi gajah sumatera lenyap akibat dibunuh manusia. Sekitar 30 % pembunuhan dilakukan menggunakan racun. Oleh karena itu, menangkap gajah secara ilegal di habitat aslinya, memeliharanya tanpa izin dan memperjual-belikannya merupakan tindakan yang melawan hukum. Akan tetapi, gajah yang mengganggu lahan pertanian atau pemukiman warga dapat ditangkap oleh aparat yang berwenang. Gajah hasil tangkapan tersebut kemudian dibawa ke Pusat Latihan Gajah (PLG) yang merupakan tempat menjinakkan gajah hasil tangkapan (Alikodra, 1990).
Gajah sudah ada sejak zaman dahulu dengan morfologi yang berbeda. Berdasarkan catatan sejarah dari fosil yang ditemukan, berikut rangkaian filogeni dari Gajah:
- Fosil hewan mirip gajah pertama kali ditemukan di bebatuan Maroko (Gheerbrant 1996, 2009), diantaranya adalah: a.Fosforium berusia 55 juta tahun dengan berat 15 kg (33 lbs) b.Eritherium berusia 60 juta tahun dengan berat 4 hingga 5 kg (8,8 hingga 11 lbs)
- Seiring waktu, penemuan fosil gajah semakin meningkat, ada sekitar 10 atau 11 famili anggota Ordo Proboscidea yang ditemukan, dari semua fosil yang ditemukan, mereka memiliki ciri sama yaitu memiliki taring, bibir atas dan hidung yang dimodifikasi. berdasarkan fosil, gajah purba memiliki tren evolusioner peningkatan ukuran, dari ukuran anjing menjadi lebih dari 4 meter (13 kaki).
- Mastodon terpecah dari keluarga gajah lebih awal yaitu sekitar 24 hingga 28 juta tahun lalu, dan memiliki berkerabatan jauh dengan gajah modern. Menurut catata, mastodon tersebar di Eropa, Yunani, Amerika Utara, dan Amerika Tengah.
- Berdasarkan data molekuler: Gajah Afrika terpisah dari gajah Asia dan mammoth sekitar 7,6 juta tahun yang lalu. sehingga jika ditelusuri secara genetik, gajah Asia yang baru-baru ini ditemukan di bebatuan berumur 6,7-5,2 juta tahun di Kenya lebih berkerabat dekat dengan mammoth dibandingkan dengan gajah Afrika.
- Mammoth (Mammuthus) termasuk dalam genera keluarga gajah yang punah dan ersebar luas di Eropa, Asia utara, Amerika Utara, dan Meksiko tengah, tetapi tidak di Amerika Selatan. Woolly mammoth (M. primigenius) menduduki Eropa, Kepulauan Inggris, Asia utara, dan sejauh selatan Kansas di Amerika Serikat. Setelah tiba di Amerika Utara, beberapa populasi kembali ke Asia. Mammoth Kolombia (M. columbi) menyebar ke seluruh Amerika Utara hingga Amerika Tengah. Bentuk kerdil dari mammoth Kolombia bertahan di Kepulauan Channel California. Mammoth mengalami kepunahan sekitar 12.000 hingga 13.000 tahun yang lalu. Kerangka mammoth kerdil yang telah punah ditemukan di pulau Kreta dan Sardinia di Mediterania.
- Gajah modern yang dapat dijumpai saat ini Loxodonta (Gajah Afrika) dan Elephas (Gajah Asia) pada mulanya berasal dari Afrika Timur. seiring berjalannya waktu, Loxodonta bermigrasi ke seluruh Afrika, sedangkan Elephas bermigrasi ke Asia dan Eurasia. Penemuan gajah kerdil yang punah di pulau Siprus dan pulau Tilos di Mediterania (Poulakis et al 2006), jika dirunut berdasarkan DNA, penemuan tersebut lebih mirip Elephas modern. sedangkan untuk gajah kerdil dari Sisilia dan Malta mash belum diketahui hubungan kekerabatannya antara dengan mammoth atau gajah modern.
- Beberapa hewan yang diketahui berkerabat dekat dengan gajah: hyrax, sea cow/dugong, golden mole dikelompokkan ke dalam takson baru yang diusulkan, termasuk kelompok Afrotheria yang tersebar di Afrika, anggota lain kelompok ini diantaranya aardvark, elephant shrew, dan tenrec. Hubungan dekat mereka dengan gajah dapat ditelusuri berdasarkan bukti molekuler, kesamaan anatomi, dan sejarah lempeng tektonik bumi (Library of San Diego Zoo Global, 2020).
Dari uraian di atas nampak bahwa Allah menciptakan makhluk hidup di bumi sangatlah beragam dari tumbuhan, hewan, hingga manusia. Keanekaragaman tersebut merupakan salah satu kekuaasaan Allah sebagaimana dijelaskan dalam Quran Surat Al Baqarah (2): 164, Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang,bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air,lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.(Q.S. al-Baqarah (2): 164).
3. Lutung Jawa (Trachypithecus auratus)
Salah satu jenis satwa endemik yang hidup di Indonesia adalah Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) (Supriyatna & Wahono, 2000). Perbedaan morfologi dan sebaran geografis inilah yang membuat Lutung Jawa saat ini dipisahkan menjadi 2 subspesies yang berbeda (Rizkyani, 2015). Rosenblum et al, (1997) dan Brandon-Jones et al, (2004) membagi Trachypithecus auratus menjadi 2 subspesies yaitu T. a. mauritius dari Jawa Barat dan T. a. auratus dari Bali, Lombok, dan Jawa Timur. Perbedaan Trachypithecus auratus auratus dan Trachypithecus auratus mauritius yaitu warna rambut, alat genital jantan, dan bentuk wajah.
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Primata
Famili: Cercopithecidae
Genus: Trachypithecus
Spesies: Trachypithecus auratus
Sinonim
Semnopithecus pyrrhus Horsfield, 1823
Semnopithecus maurus Horsfield, 1823
Trachypithecus auratus auratus (E. Geoffroy Saint-Hilaire, 1812)
Pithecus pyrrhus kohlbruggei Sody, 1931
Pithecus pyrrhus sondaicus Robinson and Kloss, 1919
Trachypithecus pyrrhus stresemanni Pocock, 1934
Nama Umum
Lutung, Budeng, Lutung Jawa, Javan Langur, Javan
Lutung
Di Indonesia Lutung Jawa dikenal dengan beberapa julukan yaitu, budeng (Jawa), petu,hirengan (Bali), lutung (Sunda). Sebutan internasional untuk lutung jawa adalah Javan Lutung, Javan Langur dan Ebony Leaf Monkey. Lutung jawa (T. auratus) memiliki dua sub spesies, yaitu T. auratus auratus di Jawa Timur dan T. auratusmauritiusyang terdapat di Jawa Barat, atau lebih dikenal dengan nama lutung sunda. Namun saat ini kedua sub spesies tersebut telah dipisahkan menjadi spesies tersendiri (Roos et al., 2014).
Lutung Jawa merupakan jenis primata endemik Pulau Jawa dan Bali yang populasi dan habitatnya semakin memprihatinkan. Akibat kehidupannya yang terisolasi, tidak menutup kemungkinan Lutung Jawa akan mengalami stres yang akan mempengaruhi kemampuannya untuk bereproduksi. Habitat Lutung Jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan mangrove maupun hutan hujan tropis. Lutung Jawa memiliki daerah jelajah yang cukup luas sehingga memerlukan koridor untuk pergerakannya. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000 dalam Anonim, 2005), daerah jelajah Lutung Jawa berkisar antara 15-23 ha. Sedangkan menurut Clutton-Brock and Harvey (1977 dalam Nursal 2001), primata yang hanya memakan daun akan memiliki
Lutung Jawa merupakan jenis primata endemik Pulau Jawa dan Bali yang populasi dan habitatnya semakin memprihatinkan. Akibat kehidupannya yang terisolasi, tidak menutup kemungkinan Lutung Jawa akan mengalami stres yang akan mempengaruhi kemampuannya untuk bereproduksi. Habitat Lutung Jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan mangrove maupun hutan hujan tropis. Lutung Jawa memiliki daerah jelajah yang cukup luas sehingga memerlukan koridor untuk pergerakannya. Menurut Supriatna dan Wahyono (2000 dalam Anonim, 2005), daerah jelajah Lutung Jawa berkisar antara 15-23 ha. Sedangkan menurut Clutton-Brock and Harvey (1977 dalam Nursal 2001), primata yang hanya memakan daun akan memiliki daerah jelajah dan bentuk tubuh yang kecil dibandingkan dengan primata yang memakan beranekaragam seperti daun, bunga dan buah. Lutung Jawa adalah salah satu satwa liar yang dilindungi, hal ini sesuai dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733 / kpts-II/1999 dan tercantum dalam Appendix II CITES. IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resource) yang menyatakan bahwa status konservasi Lutung Jawa adalah vulnerable, yang artinya rentan terhadap gangguan dan dikhawatirkan akan punah apabila tidak dilakukan perlindungan dan pelestarian habitatnya (IUCN, 2012). Selain itu primata yang tergolong endemik ini juga dilindungi oleh UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, satwa langka tersebut tidak boleh diperjualbelikan (Pratiwi, 2008).
Kelompok umur pada Lutung Jawa dibedakan berdasarkan ukuran tubuh dan aktivitas hariannya. Pada jantan dewasa mempunyai ukuran tubuh relatif besar sedangkan pada betina dewasa memiliki ukuran tubuh lebih kecil atau hampir sama dengan ukuran jantan dewasa. Pada lutung betina rambut bagian punggung lebih hitam dari pada warna punggung lutung jantan (Nugraha, 2011).
Lutung Jawa memulai aktivitasnya sejak dari bangun tidur yaitu sekitar pukul 05:30 WIB, kemudian berpindah untuk makan di pohon sumber pakan di sekitar pohon tempat tidur. Akhir dari aktivitas harian ditandai dengan adanya aktivitas berpindah memasuki pohon tempat tidur, untuk memasuki pohon tempat tidurnya yaitu sekitar pukul 18.00 WIB (Andriansyah, 2007). Lutung Jawa mempunyai jalur-jalur tertentu dalam menempuh perjalanan harian, mencari makan dan tempat tidurnya, tiga strata pohon secara vertikal untuk tempat tidurnya yaitu bagian pucuk kanopi, ditengah-tengah pohon dan di bawah pohon, sedangkan untuk aktivitas perjalanan harian dan mencari makan, ruang habitat secara vertikal dibagi empat strata yaitu puncak kanopi, tengah• tengah pohon, di bawah pohon dan di lantai hutan (Latifah 2002 dalam Nugraha 2011).
Lutung Jawa merupakan jenis hewan arboreal yaitu hewan yang beraktivitas di pohon. Rata-rata jumlah dalam satu kelompok sekitar tujuh individu. Febriyanti (2008) menemukan bahwa bentuk kelompok Lutung Jawa terdiri dari 6-21 individu dengan satu atau dua jantan dewasa. Predator utama primata ini adalah manusia yang memburu jenis ini untuk komersial dan kebutuhan makanan. Langur dalam bahasa Hindi berarti ekor panjang, sesuai dengan namanya Lutung Jawa (T. auratus) mempunyai panjang ekor sampai dengan 87 cm, lebih panjang dibanding dengan panjang tubuhnya yang hanya sekitar 55 cm (Richardson, 2005). Menurut Supriyatna (2016), Lutung Jawa dewasa baik jantan dan betina memiliki panjang tubuh (dari ujung kepala hingga tungging) rata-rata 517 mm, dan panjang ekornya rata-rata 742 mm. Berat badan rata-rata 6,3 kg (Supriatna dan Ramadhan, 2016). Perbedaan antara jantan dan betina secara morfologi terletak pada perkembangan alat kelamin sekunder. Selain itu memiliki lutung betina memiliki wajah lebih pucat dan mempunyai bercak putih kekuningan di sekitar daerah kemaluannya (Richardson, 2005). Lutung Jawa jantan dan betina memiliki perbedaan yang terletak pada bagian pelvik (selangkangan), yang mana pada betina berwarna putih pucat, sedangkan pada jantan berwarna hitam.
Secara umum, ciri-ciri morfologi pada Lutung dewasa ditandai dengan rambut penutup berwarna hitam sampai hitam keperakan. Bagian atas tubuh dari Lutung berwarna kelabu kecoklat-coklatan gelap sampai kehitam-hitaman dengan masing-masing rambut putih di ujungnya. Memiliki warna kilap perak pada mantel kulit. Rambut-rambut pada kaki bawah dan punggung paha adalah kelabu sampai keperak-perakan, bagian perut dan sebelah dalam dari paha berwarna kelabu pucat. Tangan dan kaki berwarna hitam, daerah muka yang tidak berambut berwana hitam. Pada beberapa individu dapat mempunyai moncong yang berwarna putih, tidak terdapat cincin yang mengelilingi mata. Cambang keputih-putihan dan cukup panjang, hamper menutupi telinga, jambul rapi dan tinggi sangat jelas pada jantan dewasa.
Lutung Jawa mempunyai keistimewaan yaitu, perutnya besar dan menggantung ke bawah. Hal ini dikarenakan jenis makanannya yang terdiri dari daun-daunan, pucuk daun serta tidak mempunyai kantung makanan pada pipi. Jantan dewasa yang bertugas sebagai pemimpin kelompok biasanya memiliki ukuran tubuh yang relative lebih besar daripada betina dewasa. Gigi taring jantan dewasa lebih keras dan tajam serta gigi geraham yang terspesialisasi untuk pemakan daun. Lutung memiliki anatomi tubuh dengan susunan tulang yang panjang dan lebar. Lutung memiliki saluran pencernaan yang kompleks. Trachypithecus auratus sondaicussama seperti jenis-jenis lainnya termasuk Colobinae yaitu memiliki ciri khas pada struktur lambung yang kompleks dan merupakan bentuk dasar pemisahan taksonomis.
Lutung Jawa (T. auratus) merupakan satwa endemik yang hidup di Pulau Jawa, Bali dan Lombok (Nijman, 2000). Mereka dapat ditemukan dengan baik di hutan pedalaman Indonesia bagian barat demikian juga di kawasan pantai di bagian selatan (Nijman & Supriatna, 2008, Nijman 2000, Richardson 2005) seperti pada hutan lindung, taman nasional dan hutan konservasi (cagar alam dan suaka margasatwa).
Lutung Jawa ditemukan di pulau Jawa dan pulau-pulau kecil Bali dan Lombok, Indonesia. Di cagar alam Pangandaran, spesies ini hidup dalam kelompok kecil yang padat di sisi timur taman menghindari perkebunan jati. Selain itu, ditemukan juga di Gunung Prahu, Taman Nasional Ujung Kulon denagn persebaran di semua tingkat strata hutan kecuali tanah. Subspesies The morph merah memiliki distribusi terbatas antara Blitar, ljen dan Pugeran Jawa. Sedangkan subspesies Trachypithecus auratus mauritus memiliki distribusi terbatas di Jawa Barat ke pantai utara dari Jakarta, pedalaman ke Bogor, Cisalak, dan Jasinga barat daya ke Ujung Kulon dan di sepanjang pantai selatan ke Cikaso atau Ciwangi (Groves, 2001).
Habitat secara bahasa diartikan sebagai tempat hidup organisme tertentu, tempat hidup yang alami (bagi tumbuhan dan hewan) atau lingkungan kehidupan asli (KBBI, 2016). Menurut Alikodra (2002), habitat adalah suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar dari suatu populasi. Kebutuhan dasar tersebut yakni kebutuhan terhadap sumber pakan, air dan tempat berlindung. Suatu habitat merupakan hasil interaksi dari sejumlah komponen, yang terdiri dari komponen fisik (air, udara, iklim, topografi, tanah, dan ruang), maupun biotik (vegetasi, mikro/makrofauna, serta manusia). Habitat mempunyai fungsi dalam penyediaan makanan, air dan perlindungan. Kuantitas dan kualitas habitat sangat menentukan prospek kelestarian satwa liar, komposisi, penyebaran dan produktivitas satwa liar. Berdasarkan PP Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan KSA dan KPA habitat adalah lingkungan tempat tumbuhan dan/atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami.
Lutung Jawa adalah hewan diurnal dan arboreal. Satwa ini melompat dari satu cabang pohon menuju pohon lain yang sangat tinggi dan jarak lompatnya mencapai 3 meter. Lutung Jawa ditemukan hidup di beberapa jenis hutan, seperti hutan bakau, hutan dataran rendah dan hutan pegunungan sampai pada ketinggian 2.200 mdpl (Whitten dkk, 1999). Nijman (2000) menyebutkan bahwa lutung jawa (T. auratus) terdapat di berbagai macam tipe hutan, seperti mangrove, hutan pantai, dan air tawar, rawa, hutan basah, hutan dataran rendah dan bukit; hutan kering; hutan pegunungan sampai 3.000-3.500 mdpl, dan di beberapa hutan tanaman (hutan jati, rasamala dan akasia).
Lutung Jawa adalah satwa endemik pulau Jawa dan Bali yang habitatnya semakin terdesak dan terus mengalami penurunan populasi. Upaya konservasi untuk mencegahnya dari kepunahan perlu dilakukan secara tepat dan secepat mungkin. Dukungan data akurat dan terkini tentang kondisi populasi Lutung Jawa dapat memberikan konstribusi kepada pihak terkait guna menentukan kebijakan pengelolaan di masa mendatang. IUCN mengelompokkan Lutung Jawa dalam kategori Vulnerable (Rentan) (IUCN, 2017) dan termasuk dalam Appendiks II CITES (CITES, 2017). Spesies ini dianggap rentan karena mengalami penurunan populasi lebih dari 30% selama 36 tahun terakhir (kurang lebih 3 generasi, setiap generasi diperkirakan berumur 12 tahun). Penurunan tersebut diakibatkan aktivitas penangkapan untuk perdagangan satwa, peliharaan, perburuan liar, dan hilangnya habitat (Nijman,V.dan Supriatna, J., 2008).
Kehilangan habitat dapat menyebabkan laju pertumbuhan menurun, dan kerusakan habitat dapat menyebabkan beberapa spesies tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya sehingga mempercepat proses kepunahan. Kepunahan seharusnya terjadi secara alami, perlahan-lahan dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama (jutaan tahun). Namun keadaan tersebut dapat dipercepat karena ulah manusia yang telah menyebabkan menurunnya daya dukung lingkungan tempat hidup mereka (Alikodra, 2010). Pemerintah telah menetapkan lutung jawa (T. auratus) sebagai satwa dilindungi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 733/Kpts-lI/1999 tentang Penetapan lutung jawa (T. auratus) sebagai satwa yang dilindungi undang-undang. Kepunahan terjadi apabila suatu spesies gagal untuk menggantikan jumlah individu yang mati. Kegagalan ini umumnya disebabkan karena adanya perubahan yang menyebabkan terjadinya stress atau masuknya suatu unsur baru di dalam lingkungannya. Adapun hal-hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk upaya konservasi Lutung Jawa adalah sebagai berikut:
- Pengelolaan Satwa Liar adalah suatu ilmu dan seni yang memanipulasikan perubahan dan interaksi antara habitat dengan populasi untuk mencapai tujuan pengelolaan yang sudah ditetapkan, yaitu agar mereka dapat hidup dan berkembang biak secara normal (Giles, 2007). Tujuan pengelolaan satwaliar secara umum adalah untuk mengendalikan populasi atau penyebaran jenis, baik untuk kepentingan perlindungan alam ataupun pemanfaatan bagi kepentingan manusia secara langsung berdasarkan prinsip-prinsip kelestarian.Menurut permasalahannya, tujuan pengelolaan satwaliar adalah sebagai berikut (Alikodra, 2012) :
- Untuk meningkatkan ukuran populasi, terutama bagi jenis-jenis yang kondisi populasi dan penyebarannya semakin tertekan.
- Untuk memanen sejumlah individu dari suatu populasi berdasarkan prinsip kelestarian hasil, sehingga individu-individu yang tertinggal mempunyai potensi untuk mencapai produktivitas yang maksimum, misalnya pada pengelolaan taman buru atau penangkaran satwaliar.
- Untuk mengurangi individu yang jumlahnya berlebihan misalnya pada pengelolaan satwaliar di taman nasional ataupun di suaka margasatwa, cara ini dikenal sebagai culling.
Menurut Alikodra (2012) untuk mencapai tujuan pengelolaan satwaliar, diperlukan suatu proses yang terorganisasi, mulai dari kegiatan perencanaan dan pelaksanaan berdasarkan rencana yang telah disusun secara matang. Kegiatan pengelolaan satwaliar merupakan suatu proses dinamik yang meliputi beberapa tahap kegiatan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pengelolaan dikatakan sebagai suatu proses yang dinamik, dimana fluktuasi keberhasilannya harus dapat dipantau, sehingga dapat dilakukan penyempurnaan sesuai dengan kondisi perkembangan manusia yang memerlukan lahan yang lebih luas.
Inventarisasi dan sensus satwaliar dan lingkungannya, merupakan tahap awal dalam pengelolaan satwaliar. Dari kegiatan inventarisasi dan sensus akan diperoleh informasi dasar yang sangat penting, baik tentang spesies-spesies penyusun, penyebaran, maupun jumlahnya. Selanjutnya dilakukan penilaian terhadap kondisi produktivitasnya (ukuran populasi, jumlah kelompok dan kisaran umur), sehingga dapat dilakukan evaluasi apakah kondisinya dalam keadaan buruk, sedang, atau baik. Jika termasuk ke dalam kondisi buruk, dapat dilakukan analisis terhadap faktor-faktor penyebabnya, baik ditinjau dari kualitas satwaliarnya maupun faktor kesejahteraan lingkungannya. Berdasarkan hasil diagnosis tersebut dapat dilakukan beberapa perlakuan, baik terhadap populasi maupun terhadap lingkungannya (Alikodra, 2010).
- Kawasan konservasi (protected areas) adalah sebuah wilayah daratan dan atau perairan yang ditetapkan untuk perlindungan dan pengawetan keragaman hayati dan sumberdaya alam serta budaya yang terkait, serta dikelola secara legal atau efektif (WRI, 2003, dalam Indrawan dkk, 2012). Legal artinya merujuk pada kebijakan atau aturan yang berlaku, efektif artinya secara tepat dapat mewujudkan tujuan dan fungsi kawasan konservasi. Kawasan konservasi mempunyai fungsi (Hermawan dkk, 2014) yaitu:
- Melindungi sistem penyangga kehidupan;
- Perlindungan terhadap plasma nutfah;
- Sebagai tempat pendidikan;
- Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kawasan konservasi di Indonesia dikelompokkan sebagai berikut :
- Cagar Alam, yakni kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kawasan ini memerlukan perlindungan secara mutlak. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai cagar alam yaitu, memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan/atau satwa liar yang tergabung dalam suatu tipe ekosistemmempunyai kondisi alam, baik tumbuhan dan/atau satwa liar yang secara fisik masih asli dan belum terganggu,merdapat komunitas tumbuhan dan/ atau satwa beserta ekosistemnya yang langka dan/atau keberadaannya terancam punah,memiliki formasi biota tertentu dan/atau unit-unit penyusunnya,mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu yang dapat menunjang pengelolaan secara efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami, dan/ataumempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi.
- Suaka Margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai suaka margasatwa yaitu merupakan tempat hidup dan berkembangbiak satu atau beberapa jenis satwa langka dan/atau hampir punah,memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi,merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migrasi tertentu, dan/atau mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa.
- Taman Nasional, adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional yaitu, memiliki sumber daya alam hayati dan ekosistem yang khas dan unik yang masih utuh dan alami serta gejala alam yang unik;memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh,mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami, dan merupakan wilayah yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan/atau zona lainnya sesuai dengan keperluan.
- Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestraian alam yang dimanfaatkan terutama untuk kepentingan pariwisata alam dan rekreasi. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman wisata alam yaitu: mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau bentang alam, gejala alam serta formasi geologi yang unik,mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik alam untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam, dankondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.
- Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau bukan alami, jenis asli dan/atau bukan jenis asli, yang tidak invasif dan dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Kriteria suatu wilayah dapat ditunjuk dan ditetapkan sebagai kawasan taman hutan raya yaitu, memiliki keindahan alam dan/atau gejala alam, mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pengembangan koleksi tumbuhan dan/atau satwa,dan merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, pada wilayah yang ekosistemnya masih utuh ataupun wilayah yang ekosistemnya sudah berubah.
- Taman buru adalah kawasan hutan yang di tetapkan sebagai tempat wisata berburu yang diselenggarakan secara teratur. Kawasan ini harus memiliki kepentingan dan nilai pelestarian yang relatif rendah yang tidak akan terancam oleh kegiatan perburuan atau pemancingan.
- Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, perlindungan terhadap kawasan hutan lindung, dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi, sedimentasi, dan menjaga fungsi hidrologis tanah untuk menjamin ketersediaan unsur hara tanah, air tanah, dan air permukaan. Kriteria kawasan hutan lindung adalah sebagai berikut: kawasan hutan dengan faktor-faktor lereng lapangan, jenis tanah, curah hujan yang melebihi nilai skor 175, dan/ataukawasan hutan yang mempunyai kelerengan lapangan 40% atau lebih, dan/atau \ kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 meter atau lebih.
Pengelolaan kawasan konservasi adalah suatu upaya untuk meraih tujuan penetapan suatu kawasan konservasi dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki dan/atau yang dapat dimanfaatkan dengan berbagai macam kegiatan yang direncanakan (Hermawan dkk. 2014). Dalam PP Nomor 28 tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, pengelolaan KSA dan KPA adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk mengelola kawasan melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian. Tujuan dari pengelolaan ini adalah untuk mengawetkan keanekaragaman tumbuhan dan satwa dalam rangka mencegah kepunahan spesies, melindungi sistem penyangga kehidupan, dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara lestari.
- Perencanaan strategis adalah common sense, bersifat visioner (visionary), namun realistik; mengantisipasi keadaan masa depan yang diinginkan (desirable) dan dapat dicapai (achievable). Perencanaan strategis memberikan suatu struktur untuk pembuatan keputusan praktek dan langkahlangkah yang harus diikuti (Gaspersz,2004).
Perumusan perencanaan strategi dapat dilakukan melalui analisis SWOT, yaitu suatu analisis secara sistematis dalam manajemen perusahaan atau organisasi yang digunakan untuk membantu penyusunan suatu rencana dengan matang untuk mencapai tujuan yang sesuai dengan misi, sasaran serta kebijakan perusahaan/organisasi, baik tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang (Rangkuti, 2016). Beberapa hal yang paling menentukan dalam suatu proses analisis SWOT adalah pemahaman terhadapi seluruh informasi suatu kasus, menganalisis situasi untuk mengetahui isu yang sedang terjadi serta memutuskan tindakan apa yang diambil untuk mengatasi permasalahan.
- Kondisi Sosial Masyarakat Sekitar Kawasan, Kawasan konservasi selain memiliki fungsi konservasi/ ekologi juga memiliki fungsi sosial, yaitu terjalinnya interaksi yang harmonis antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat sekitarnya. Hubungan yang harmonis tersebut dapat dilihat dari semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat dan terpenuhinya kebutuhan masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi. Masyarakat seharusnya ditempatkan sebagai stakeholder penting, agar pengelolaan kawasan konservasi selaras dengan pembangunan masyarakat disekitarnya. Masyarakat sekitar kawasan konservasi sering tidak dilibatkan dalam program-program yang dilakukan oleh pengelola, karena dianggap tidak termasuk dalam objek yang dikelola. Keberadaan kawasan konservasi yang berdampingan dengan masyarakat senantiasa melahirkan interaksi antar keduanya. Hubungan yang harmonis antara pengelola kawasan konservasi dan masyarakat sekitar perlu dibangun secara bertahap namun pasti. Dimulai sejak masyarakat sekitar dianggap sebagai ancaman sehingga perlu dikelola sampai dengan mendorong peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi, dan sebaliknya juga mewujudkan fungsi kawasan konservasi dalam mensejahterakan masyarakat sekitarnya (Hermawan, dkk. 2014).
Keberhasilan usaha penyelamatan spesies-spesies yeng terancam punah akan banyak ditentukan oleh partisipasi masyarakat. Mereka akan dapat membantu sepenuhnya jika telah diketahui adanya manfaat yang sangat besar dari spesies yang bersangkutan bagi kelangsungan hidup mereka. Jika secara sengaja ataupun tidak, kita membiarkan suatu spesies menjadi punah, maka akan kehilangan produk-produk potensial yang sangat berharga karena baru sedikit nilai dan peran dari beberapa spesies satwaliar yang dapat dikenali.
Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi dengan masyarakat adalah sangat penting, mengingat keadaan satwaliar semakin terdesak dengan adanya pengembangan di bidang pengusahaan hutan, pertambangan, pertanian, perindustrian, perkebunan, peternakan dan semua kegiatan yang berkepentingan dengan pembukaan habitat satwaliar. Disamping masyarakat dan pengelola, para perencana, terutama dalam perencanaan tata guna lahan dan tata ruang mempunyai peranan penting dalam menyelamatkan kehidupan satwaliar, hendaknya juga memperhatikan kelestarian hidup mereka, terutama yang khas dan dilindungi (Alikodra, 2010).
Menurut Alikodra (2010), pengelola diharapkan memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Perubahan habitat sebagian besar disebabkan adanya perubahan dalam pola penggunaan lahan, perusakan baik oleh alam maupun manusia, dan adanya perubahan suksesi biotik. Perubahan perubahan pada lingkungan kehidupan manusia baik kepentingannya, kebutuhannya maupun tujuannya akan berpengaruh terhadap upaya pelestarian maupun pengelolaan satwaliar. Para pengelola juga harus mampu menetapkanprogram-program prioritas untuk disesuaikan dengan keadaan anggaran yang terbatas, serta terus mengembangkan penelitian yang dapat menghasilkan pengetahuan-pengetahuan baru untuk mengelola populasi dan habitat, dan untuk mengembangkan teknik-teknik yang efektif.
Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi dipengaruhi oleh besarnya dukungan dan penghargaan masyarakat di sekitarnya. Cara pandang masyarakat terhadap kawasan konservasi sangat menentukan arah interaksi antar keduanya, apakah kawasan dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk mengambil manfaat atau justru mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Perintah konservasi dan menjaga lingkungan di bumi telah Allah jelaskan dalam Al Qur’ an. Allah dalam Surah Al A’raf (7): 56 Allah berfirman:
Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (0.S. Al A’raf (7): 56)
Dalam Al-Quran Surat Al Baqarah (2):60 Allah SWT berfirman:
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya,lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).Makan dan minumlah rezki (yangdiberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (0.S. Al Baqarah (2):60)
Dalam Al Quran Surat Al Syuara’ (26):183, Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan. (Q.S. Al Syuara’ (26):183).
Dalam Al Quran Surat Ar Rum (30):41 , Allah SWT berfirman :
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Q.S. Ar Rum (30):41).
Beberapa ayat dalam surat yang berbeda tersebut layaknya menjadi petunjuk bagi manusia bahwa apa yang diberikan Allah sudah sesuai dengan ukuran dan berarti harus dijaga. Manusia sebagai khalifah di bumi memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap lingkungan sebagai konsekuensi dari nikmat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga patut disukuri dan dilindungi serta di junjung tinggi manusia yang perlu meningkatkan kesadaran lingkungan. Tetapi manusia sebagai khalifah terkadang lupa posisi mereka yang menyebabkan kerusakan yang ada di muka bumi baik di darat maupun di laut.
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya:
“Bahwa sesungguhnya Allah SWT. Memerintahkan untuk berbuat baik pada segala sesuatu. Jika kamu membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih (binatang), maka sembelihlah dengan cara yang baik. Dan hendaklah engkau menajamkan pisaumu dan menenangkan (ketika menyembelih) hewan sembelihan itu” (HR Muslim).
Hadits di atas menunjukkan betapa Rasulullah menghargai dan megnhormati kehidupan makhluk hidup lainnya karena makhluk hidup lain pasti memberikan manfaat bagi manusia di kehidupan ini. Rasulullah mengatakan bahwa yang membiarkan mati binatang yang tidak berbahaya dengan sengaja adalah perbuatan dosa. sebagaimana dijelaskan dalam Dalam Al Quran Surat Al An’am [6], ayat 165, Allah SWT berfirman:
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
Oleh karena itu dalam mengelola alam sudah pasti ada kerusakan yang tidak dapat dihindari dapat terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia. Tetapi pilihlah kerusakan yang kecil tetapi bermanfaat yang lebih besar. Bila terjadi sebaliknya maka kerusakan yang dahsyat hanya memberi manfaat yang kecil atau mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya (Setyowati, 2014).
Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa manusia yang lalai akan menimbulkan bencana. Oleh karena itu, Allah telah menjanjikan konsekuensinya bagai mereka yang merusak alam tanpa memberi manfaat itu. Dalam surat Al- Qashah (28): 77 Allah berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al- Qashah (28): 77
Lutung jawa (Trachypithecus auratus) merupakan lutung endemik Indonesia, hidup berkelompok dari 6 sampai 30 (13; 10). Lutung jawa (T.auratus) terdaftar sebagai hewan rentan di Daftar Merah IUCN. Populasi menurun karena aktivitas manusia, seperti hilangnya habitat, perburuan, dan hewan peliharaan ilegal perdagangan. Groves (1985) membagi T. auratus menjadi dua subspesies, yaitu T.auratus dan T. auratus mauritius. T. a. Subspesies auratus hidup di Jawa Timur, Pulau Sempu, Bali, dan Lombok, sedangkan subspesies T. auratus mauritius terbatas di Jawa Barat. dan Banten. Keduanya menampilkan perbedaan karakter morfologi. Pada keberagaman subspesie T. auratus memiliki perilaku dan karakter morfologi yang tidak dapat memberikan jawaban cukup untuk sepenuhnya menyelesaikan hubungan evolusioner mereka atau merancang taksonomi berbasis filogeni yang stabil
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati et al. (2015) diperoleh rangkaian kekerabatan dari kelompok subspecies T. a. auratus, Andin (betina), dan Bobby (jantan). Ciri morfologi dari dua sampel: Andin dan Bobby memiliki warna keperakan warna rambut hitam, fitur wajah lebar, dan kurvawajah sudut tidak terlalu jelas (Brandon-Jones, 1995;Brandon-Jones,2004; Kurniawan, 2012a).
4. Paus Biru (Balaenoptera musculus)
Paus Biru (Balaenoptera musculus) merupakan hewan terbesar yang diketahui hidup di bumi yang ditemukan secara global dan tersebar di sebagian besar lautan. Spesies ini memiliki tiga subspesies antara lain Balaenoptera musculus intermedia yang ditemukan di perairan Antartika, Balaenoptera musculus musculus terdapat di belahan bumi utara dan Balaenoptera musculus brevicauda dari zona sub-Antartika di Samudra Hindia bagian selatan dan Samudra Pasifik bagian barat daya (Sears & Calambokidis, 2002).
Gambar 31. Balaenoptera musculus (Opzeeland dkk.,
2013)
Klasifikasi Ilmiah
Kingdom: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Mammalia
Ordo: Cetacea
Famili: Balaenopteridae
Genus: Balaenoptera
Spesies: Balaenoptera musculus
Sinonim
Balena physalus Linnaeus, 1758
Nama Umum
Paus Biru, Blue Whale
Mamal laut umumnya masuk kedalam Ordo Cetacea. Cetacea merupakan kelompok Mamalia laut yang kehidupannya sepenuhnya di air. Laut Indonesia dihuni oleh sekitar 31 jenis Cetacea yang termasuk paus, lumba-lumba dan dugong (Salim, 2011; Yusron, 2012). Seperti Mamal darat, Mamal laut juga bernafas dengan paru-paru dengan beberapa modifikasi untuk mensuportnya hidup di air. Mamal laut bernafas dengan menghirup oksigen melalui lubang nafas dan kemudian diteruskan ke paru-paru. Mamal laut memliki karakter seperti Mamal darat pada umumnya, mereka juga memiliki karakter parental care dan menyusui anaknya, selain itu Mamal laut juga memiliki rambut yang dapat diketahui keberadaannya pada saat awal kehidupan dan akan hilang seiring bertambahnya usia (Mira, 2013).
Penyebutan istilah yang salah di kalangan masyarakat masih sering kali terjadi. Beberapa kalangan masih menyebut paus sebagai ikan, padahal paus merupakan hewan air yang tergolong dalam kelompok Mamalia. Hal ini terjadi disebabkan karena hidupnya yang berada di laut dan secara morfologi luar mirip dengan ikan (Pisces). Nyatanya, paus merupakan hewan Mamalia laut yang juga memiliki ciri-ciri seperti Mamalia darat, salah satunya bernafas dengan paru-paru (Mira, 2013). Hal Ini adalah salah satu bukti akan kekuasaan Allah dalam menciptakan makhlukNya yang beraneka ragam dalam habitat, morfologis, anatomi dan lain sebagainya. Allah berfirman dalam surah An-Nur ayat 45 sebagai berikut:
“Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian ada yang berjalan diatas perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yanglain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Sungguh,Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (Q.S. An Nur (24): 45).
Ayat di atas berdasarkan tafsir Al-Qurthubi (2008) menerangkan semua hewan yang ada di muka bumi ini berjalan menggunakan empat kaki, seperti golongan Mamalia darat, Reptilia dan Amphibia. Dua kaki seperti Aves dan Manusia, bahkan tanpa melalui keduanya seperti golongan hewan melata atau hewan air. Demikianlah kekuasaan Allah atas segala sesuatu. Paus biru mengalami kematangan seksual pada umur 5-10 tahun. Paus betina melahirkan satu anak tiap dua atau tiga tahun sekali dengan waktu kehamilan 10-12 bulan. Paus betina berukuran lebih besar dibandingkan paus jantan. Makanan utama paus biru adalah krill yaitu udang-udang kecil atau invertebrata kecil lainya. Paus biru mempunyai 300 hingga 400 pasang baleen berwarna hitam yang digunakan untuk menyaring makanan. Usia hewan ini rata-rata sekitar 80 tahun. Paus biru pada umumnya hidup soliter atau membentuk kelompok kecil yang terdiri atas dua atau empat individu (Wahyuni, 2016).
Paus biru jantan diketahui menghasilkan suara dengan sering dan kompleks. Banyak dari suara yang dihasilkan tersebut dikaitkan dengan konteks yang spesifik seperti mencari makan, bersosialisasi, terancam oleh mangsa dan reproduksi (Recalde-Salas, dkk., 2014). Suara-suara yang ditimbulkan dari kegiatan manusia juga menyebabkan gangguan pada level individual seperti respon perilaku, penyamaran sinyal biologis, hilangnya pendengaran baik temporal maupun permanen (Thomsen, dkk., 2011). Kebisingan di laut juga mengubah tingkah laku paus biru yang dapat menyebabkan paus biru menjauh dari habitat asalnya (Wahyuni, 2016).
Paus biru pada umumnya memakan Euphausiids. Namun di beberapa tempat, Paus biru memakan E. superba. Di Laut Cortez mereka diketahui memakan Nyctiphanes simplex. Paus biru diperkirakan memakan 2-4 ton (1.800 – 3.600 kg) makanan per hari. Paus biru adalah hewan filter feeder dengan menelan sejumlah besar air dan mangsa ke dalam mulut, kemudian terjadi kontraksi oleh otot kantong ventral dan lidah keluar melalui lempeng baleen. Setelah itu, air dikeluarkan dan mangsa terperangkap oleh lapisan serat yang berada di tepi bagian dalam baleen, sehingga mangsa tertelan (Sears & Calambokidis, 2002).
Paus biru dapat berenang dengan kecepatan 32 – 36 km/jam terutama ketika dikejar oleh predator, seperti paus pembunuh, kapal, dan berinteraksi dengan paus biru lainnya, mereka dapat mencapai kecepatan yang jauh lebih tinggi. Namun, mereka akan berenang dengan kecepatan 2-8 km/jam saat mereka makan. Paus biru dapat bernafas 6-20 kali di permukaan selama 1-5 menit, dan umumnya menyelam selama 5-15 menit. rekor penyelaman terlama pernah diamati hingga 36 menit di St. Petersburg. Lawrence (Sears & Calambokidis, 2002).
Paus Biru (Balaenoptera musculus) termasuk dalam Subordo Mysticeti yang tidak memiliki gigi, akan tetapi memiliki baleen yaitu penyaring besar dalam mulut. Famili Balaenidae ini mempunyai lipatan• lipatan di sekitar tenggorokannya yang memungkinkan untuk menahan sejumlah besar air (Khalaf, 2020; Monnahan, dkk., 2014). Paus biru memiliki bentuk tubuh yang ramping dan memanjang, kulit tubuhnya berwarna biru keabu-abuan di bagian punggungnya dan agak lebih terang di bawahnya. Menurut National Marine Fisheries Service (NMFS), hewan ini juga mempunyai dua buah blowhole atau lubang semburan pernafasan yang terletak di atas kepala, fluke dan flipper sebagai alat gerak dan sirip dorsal berbentuk seperti sabit. Paus biru memiliki lapisan minyak atau blubber dengan tebal sekitar 5-30 cm di tubuhnya (Khalaf, 2020; Sears & Calambokidis, 2002; Wahyuni, 2016).
Paus biru memiliki panjang total rata-rata 21- 24 meter (tercatat yang terpanjang yaitu 33,6 meter) dan bobotnya dapat mencapai 90 – 150 ton, sehingga paus biru ini terkenal dengan sebutan paus terbesar yang memiliki sirip punggung yang kecil yang terletak di belakang tubuhnya sekitar 1/3 akhir dari panjang tubuhnya. Kepalanya besar dan lebar hingga mencapai ¼ dari panjang tubuhnya, mocongnya berbentuk seperti huruf U dan ekornya sangat tebal (Mira, 2013).
Paus biru termasuk dalam Cetacea, yaitu kelompok Mamalia laut. Ada sekitar 87 spesies yang terbagi dalam dua kelompok utama yaitu paus baleen (Mysticeti)dan paus bergigi (Odontoceti).
Nama genus Balaenoptera merupakan kombinasi dari dua kata Latin, yaitu “balaena” (artinya paus) dan “pteron” (artinya sirip). Dengan demikian berarti paus memiliki sirip punggung sehingga dapat dibedakan dari balaena (artinya paus tanpa sirip punggung) (Hidehiro, 1994). Penunjuk spesies musculus berasal dari bahasa Latin yang berarti “jaringan hewan yang dapat dikontraksikan yang terdiri atas kumpulan serat,” atau “otot tubuh”. Sedangkan secara harfiah mus berarti “tikus kecil”. Disebut demikian karena bentuk dan gerakan beberapa otot (terutama bisep) dianggap menyerupai tikus. Analoginya juga dibuat dalam bahasa Yunani, di mana mys berarti “tikus” dan “otot”, begitu pula dalam bahasa Jerman, Arab dan Inggris memiliki arti yang sama (Khalaf, 2020).
Paus biru ditemukan secara global dan hidup di sebagian besar samudra di dunia, meskipun berdasarkan sejarah, keberadaan paus biru ini paling melimpah di samudra selatan (Sears & Calambokidis, 2002). Seperti paus baleen lainnya, mereka umumnya dianggap melakukan migrasi musiman dari daerah lintang tinggi di musim panas dan ke daerah lintang rendah di musim dingin, meskipun distribusi musim dingin tidak dipahami dengan baik oleh banyak populasi (Berman-Kowalewski, dkk., 2010; Sears & Calambokidis, 2002; Setiawan, 2004). Paus biru banyak menghuni perairan pesisir dan pelagis. Agregasi makan paus biru sering ditemukan di tepi landas kontinen (Sears & Calambokidis, 2002).
Paus biru merupakan salah satu mamalia laut yang melewati perairan Indonesia pada jalur migrasinya (Wahyuni, 2016). Di Indonesia, paus biru tersebar di perairan Jawa, Maluku, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sumatera dan Sulawesi (Mira, 2013). Dari segi ekologinya, Paus merupakan salah satu Cetacea yang memberikan kontribusi besar dalam ekosistem perairan. Selain sebagai predator, kotoran paus merupakan sumber karbon zink bagi Samudra. Gangguan terhadap populasi Cetacea ini dapat menyebabkan ketidakseimbangan rantai makanan. Sehat dan seimbangnya populasi Cetacea dapat mencerminkan bahwa perairan tersebut sehat (Mustika, dkk., 2015).
Paus biru ini memiliki populasi yang rendah dan sedang menghadapi banyak ancaman kepunahan oleh perburuan komersial, perubahan iklim, polusi industri, terjerat jaring nelayan, benturan kapal, kompetisi dan kebisingan antropogenik seperti Sound Navigation And Ranging (SONAR). Perburuan paus di abad ke-20 ini hampir mengeliminasi 90% populasi paus biru di dunia. Di Pasifik Utara, populasinya mengalami penurunan pasca-perburuan, yaitu diperkirakan ada 1.400 hewan (Berman-Kowalewski, dkk., 2010). Baru-baru ini, kelimpahan paus biru di Pasifik Utara bagian timur diperkirakan ada 3.000 dan 2.000 hewan, diketahui dengan survey menggunakan metode capture recapture(Calambokidis & Barlow, 2004). Paus biru hanya muncul secara musiman di lepas pantai California dan pergerakan mereka berkorelasi dengan kumpulan Euphausiids (Mate, Lagerquist, & Calambokidis, 1999).
Oleh karena itu, paus biru ditetapkan sebagai satwa yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa (Pemerintah Republik Indonesia 1999) dan dilindungi oleh Marine Mammals Protection Act (MMPA). Paus biru termasuk dalam Red List oleh Internatioal Union for Conservation of Nature (IUCN) dengan kategori Endangered (EN) atau terancam dan masuk daftar Convention on International Trade in Endangered Species (CITES) Apendix II (endangered species) (Wahyuni, 2016).
Paus biru pada awalnya bukan spesies yang paling banyak diburu karena ukuran, kecepatan, dan habitatnya yang terpencil. Kemajuan teknologi dari tahun 1860-1920, bagaimanapun, memungkinkan pemburu paus untuk mengejar spesies tersebut. Perkiraan total pembunuhan paus biru pada abad ke-20 adalah 350.000 hewan. Pada tahun 1960-an, paus biru berada di ambang kepunahan. Terlepas dari penentangan industri perburuan paus, paus biru memperoleh perlindungan setelah musim penangkapan ikan paus 1965/66. Perkiraan populasi yang tersisa berkisar dari 2.000 hingga 6.000 individu dan belum jelas apakah paus biru akan lolos dari kepunahan. Populasi belahan bumi selatan telah disurvei secara ekstensif dan diperkirakan 400 hingga 1.400 hewan. Populasi belahan bumi utara diperkirakan sekitar 5.000 individu tetapi ketelitian ilmiah dari survei ini telah dikritik.
Hilangnya keragaman genetik pada spesies dan populasi sering dianggap sebagai proses ancaman utama. Tingkat keragaman genetik yang rendah dapat menjadi peringatan peningkatan risiko kepunahan melalui penurunan kebugaran individu dan penguranganpotensi evolusi, dan menyoroti kebutuhan mendesak untuk mengurangi penyebab kegiatan antropogenik (Frankham et al., 2002; Attard et al.,2017). Namun, tingkat keragaman genetik bisa rendah juga merupakan produk dari peristiwa sejarah alam atau ketekunan alamiah jangka Panjang pada ukuran populasi kecil. Salah satu peristiwa alam paling terkenal selama. Sejarah terkini adalah osilasi iklim antara periode glasial dan interglasial. Selama periode glasial, daerah beriklim sedang dan tropis berkontraksikhatulistiwa, permukaan laut menurun dan es kutub meluas, dengan Glasial Terakhir Penandaan maksimum (LGM) saat lapisan es terakhir pada ekstensi maksimumnya. Osilasi iklim ini menghasilkan evolusi dan demografiberubah dan dengan demikian mengubah keragaman genetic (Hewitt, 2000; Attard et al., 2017).
Paus biru (Balaenoptera musculus) diburu secara parah pada abad ke- 20dan saat ini terancam punah (Brach, 2007; Attard et al., 2017) . Mereka biasanya makan di garis lintang yang lebih tinggiselama musim panas, dan kemudian bermigrasi untuk berkembang biak dan memberi makangaris lintang yang lebih rendah selama musim dingin. Di Belahan Bumi Utara,ada satu subspesies (B. m. musculus), dan di SelatanBelahan bumi, ada dua subspesies: paus biru kerdil(B. m. Brevicauda), yang makan di perairan beriklim sedang, danPaus biru Antartika (B. m. Intermedia), yang makan di perairan Antartika. Keragaman genetik terendah yang tercatat dipopulasi paus biru ditemukan pada paus biru kerdilyang memberi makan di lepas pantai Australia. Analisis genetik tradisional menunjukkan bahwa paus biru kerdil Australia mengalami hambatan genetik pada waktu yang tidak diketahui (Attard et al., 2010; Attard et al.,2017). Paus biru kerdil Australia diperkirakan pernahkelimpahan beberapa atau beberapa ribu individu sebelumnya, eksploitasi menjadi beberapa ratus atau beberapa ribu sisanya segera setelah eksploitasi (Zemsky et al., 1982; Attard et al., 2017).
Di sini menunjukkan bahwa rendahnya keragaman genetik Paus biru kerdil Australia disebabkan oleh ukuran populasi kecil yang terjadi dalam jangka waktu lama, peristiwa sejarah alam, atau baru-baru iniacara antropogenik. Ukuran populasi yang kecil dalam jangka waktu lama menyebabkan terjadinya perubahan ukuran populasi dan populasi yang lebih kecilukurannya dari garis keturunan paus biru lainnya. Sebuah sejarah alamacara akan menunjukkan pengurangan ukuran populasi terkait perubahan iklim, dengan ekspansi populasi berikutnya. Eksploitasi berlebihan selama abad ke-20 akan menunjukkan hal yang baruterkait kemacetan genetik tanpa pemulihan.
Allah menciptakan makhluk hidup di bumi sangatlah beragam dari tumbuhan, hewan, hingga manusia. Keanekaragaman tersebut merupakan salah satu kekuaasaan Allah sebagaimana dijelaskan dalam Quran Surat Al Baqarah (2): 164, Allah SWT berfirman :
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia,dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air,lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”(Q.S. Al Baqarah (2): 164).
Namun keragaman genetik ini semakin kecil akibat perilaku manusia yang serakah sehingga menyebabkan terjadinya kepunahan. Pada kejadian paus biru ini kepunahan terjadi akibat perilaku manusia yang diiringi dengan lamanya waktu berkembangbiak dari paus birusehingga jumlah populasi menjadi semakin kecil. semakin kecilnya jumlah populasi ini juga menyebabkan terjadinya penurunan keberagaman genetik.
Hal itu dapat diatasi dengan melakukan konservasi. Perintah konservasi dan menjaga lingkungan di bumi telah Allah jelaskan dalam Al Qur’an. Allah dalam Surah Al A’raf (7): 56 Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah)memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”(Q.S. Al A’raf (7): 56).
Dalam Al Quran Surat Al Baqarah (2):60 Allah SWT berfirman :
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya,lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air.sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing).Makan dan minumlah rezki (yangdiberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan.” (Q.S. Al Baqarah (2):60).
Dalam Al Quran Surat Al Syuara’ (26):183, Allah SWT berfirman :
“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan”.(Q.S. Al Syuara’ (26):183).
Dalam Al Quran Surat Ar Rum (30):41 , Allah SWT berfirman :
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusi,supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(Q.S. Ar Rum (30):41).
Beberapa ayat dalam surat yang berbeda tersebut layaknya menjadi petunjuk bagi manusia bahwa apa yang diberikan Allah sudah sesuai dengan ukuran dan berarti harus dijaga. Manusia sebagai khalifah di bumi memiliki kewajiban dan tanggung jawab terhadap lingkungan sebagai konsekuensi dari nikmat yang diberikan Allah kepada manusia sehingga patut disukuri dan dilindungi serta di junjung tinggi manusia yang perlu meningkatkan kesadaran lingkungan. Tetapi manusia sebagai khalifah terkadang lupa posisi mereka yang menyebabkan kerusakan yang ada di muka bumi baik di darat maupun di laut.
Rasulullah SAW juga bersabda yang artinya: “Bahwa sesungguhnya Allah SWT. Memerintahkan untuk berbuat baik pada segala sesuatu. Jika kamu membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika kamu menyembelih (binatang), maka sembelihlah dengan cara yang baik. Dan hendaklah engkau menajamkan pisaumu dan menenangkan (ketika menyembelih) hewan sembelihan itu” (HR.Muslim).
Hadits di atas menunjukkan betapa Rasulullah menghargai dan menghormati kehidupan makhluk hidup lainnya karena makhluk hidup lain pasti memberikan manfaat bagi manusia di kehidupan ini. Rasulullah mengatakan bahwa yang membiarkan mati binatang yang tidak berbahaya dengan sengaja adalah perbuatan dosa. sebagaimana dijelaskan dalam Dalam Al Quran Surat Al An’am [6], ayat 165, Allah SWT berfirman:
“Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S.Al An’am (6): 165).
Oleh karena itu dalam mengelola alam sudah pasti ada kerusakan yang tidak dapat dihindari dapat terjadi akibat eksploitasi sumber daya alam yang dilakukan oleh manusia. Tetapi pilihlah kerusakan yang kecil tetapi bermanfaat yang lebih besar. Bila terjadi sebaliknya maka kerusakan yang dahsyat hanya memberi manfaat yang kecil atau mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya (Setyowati, 2014).
Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an bahwa manusia yang lalai akan menimbulkan bencana. Oleh karena itu, Allah telah menjanjikan konsekuensinya bagai mereka yang merusak alam tanpa memberi manfaat itu. Dalam surat Al- Qashah (28): 77 Allah berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al- Qashah (28): 77).
Bibliographical Entries
- India Biodiversity, Tanpa Tahun. Elephas maximus Linnaeus,1758. https://indiabiodiversity.org/biodiv/species/show/257367
Citation
Bayyinatul Muchtaromah, Nur Kusmiyati, Kholifah Holil, Berry Fakhry Hanifa, Mujahidin Ahmad, Prilya Dewi Fitriasari, Lil Hanifah, Rizky Mujahidin Mulyono, Nur Izza Analisa: Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang, Malang, Tuesday, July 16, 2024.