Logo

Search the Maliki Encyclopedia

Glossary Entry Kehalalan Kosmetika

Kehalalan Kosmetika

Table of Contents

Ketentuan hukum penggunaan kosmetika telah ditetapkan oleh MUI dalam fatwa MUI nomor 26 tahun 2013 tentang standar kehalalan produk kosmetika dan penggunaanya. Menurut MUI Penggunaan kosmetika ada yang berfungsi sebagai obat dan ada yang berfungsi sekedar pelengkap dan ada yang masuk kategori haajiyyat dan ada yang masuk kategori tahsiniyyat. Tahsiniyat adalah salah satu kebutuhan syar’i yang bersifat penyempurna (tertier), yang tidak sampai pada tingkat darurat ataupun hajat, yang jika tidak dipenuhi tidak akan mengancam eksistensi jiwa seseorang, serta tidak menimbulkan kecacatan.

Dalam fatwa tersebut, MUI telah menetapkan bahwa:

  1. Penggunaan kosmetik untuk kepentingan berhias hukumnya boleh dengan syarat:
    a. bahan yang digunakan adalah halal dan suci;
    b. ditujukan untuk kepentingan yang dibolehkan secara syar’i; dan
    c. tidak membahayakan.
  2. Penggunaan kosmetik dalam (untuk dikonsumsi/masuk ke dalam tubuh) yang menggunakan bahan yang najis atau haram hukumnya haram.
  3. Penggunaan kosmetik luar (tidak masuk ke dalam tubuh yang menggunakan bahan yang najis atau haram selain babi dibolehkan dengan syarat dilakukan penyucian setelah pemakaian (tathhir syar’i).
  4. Penggunaan kosmetik yang semata-mata berfungsi tahsiniyyat, tidak ada rukhshah (keringanan) untuk memanfaatkan kosmetika yang haram.
  5. Penggunaan kosmetik yang berfungsi sebagai obat memiliki ketentuan hukum sebagai obat, yang mengacu pada fatwa terkait penggunaan obat-obatan.
  6. Produk kosmetik yang mengandung bahan yang dibuat dengan menggunakan mikroba hasil rekayasa genetika yang melibatkan gen babi atau gen manusia hukumnya haram.
  7. Produk kosmetika yang menggunakan bahan (bahan baku, bahan aktif, dan/atau bahan tambahan) dari turunan hewan halal (berupa lemak atau lainnya) yang tidak diketahui cara penyembelihannya hukumnya makruh tahrim, sehingga harus dihindari.
  8. Produk kosmetika yang menggunakan bahan dari produk mikrobial yang tidak diketahui media pertumbuhan mikrobanya apakah dari babi, harus dihindari sampai ada kejelasan tentang kehalalan dan kesucian bahannya.

Dalam proses produksi atau pembuatan kosmetika, terdapat produsen yang menggunakan bagian tubuh manusia atau hewan seperti organ tubuh, plasenta, ari-ari bahkan air seni. Berdasarkan fatwa MUI nomor 30 Tahun 2011 tentang penggunaan plasenta hewan halal untuk kosmetika dan obat luar ditetapkan bahwa:

  1. Penggunaan plasenta yang berasal dari hewan halal untuk bahan kosmetik luar dan obat luar hukumnya boleh (mubah).
  2. Penggunaan plasenta yang berasal dari bangkai hewan halal untuk bahan kosmetik dan obat luar hukumnya haram.

Sedangkan aturan mengenai penggunaan organ tubuh, ari-ari, air seni bagi kepentingan obat dan kosmetika diatur berdasarkan hasil musyawarah nasional yang tertuang dalam ketetapan nomor 2/MUNAS VI/MUI/2000. Dalam fatwa ini ditetapkan:

  1. Penggunaan obat-obatan yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia (juz’ul-insan) hukumnya adalah haram.
  2. Penggunaan air seni manusia untuk pengobatan, seperti disebut pada butir 1.b hukumnya adalah haram.
  3. Penggunaan kosmetika yang mengandung atau berasal dari bagian organ manusia hukumnya adalah haram.
  4. Hal-hal tersebut pada butir 2, 3, dan 4 di atas boleh dilakukan dalam keadaan dharurat syar’iyah.

Menghimbau kepada semua pihak agar tidak memproduksi atau menggunakan obat-obatan atau kosmetika yang mengandung unsur bagian organ manusia, atau berobat dengan air seni manusia.