Stuart McPhail Hall: Penggagas teori kajian budaya dan sastra
- Version 1.0
Table of Contents

Biografi
Stuart Hall adalah salah satu penggagas aliran pemikiran yang sekarang dikenal sebagai British Cultural Studies atau The Birmingham School of Cultural Studies, yang ia rintis bersama rekan-rekannya pada media 1960-an. Hall dilahirkan di Kingston, Jamaika, pada tahun 1932. Ia adalah satu dari tiga bersaudara dari pasangan Jesse dan Herman Hall, seorang akuntan. Ia memiliki darah campuran Skotlandia, Afrika, dan Portugis-Yahudi. Setelah belajar di Jamaica College, ia pindah ke Inggris pada tahun 1951 dengan beasiswa Rhodes ke Universitas Oxford.
Stuart Hall adalah seorang sarjana Rhodes di Merton College, Oxford, Direktur Pusat Kajian Budaya Kontemporer Birmingham dan Profesor Sosiologi di Universitas Terbuka. Dia mempresentasikan sejumlah program televisi termasuk serial BBC Redemption Songs dan banyak siaran untuk Universitas Terbuka. Sejak 1995 hingga 1997 ia dipercaya sebagai presiden British Sociological Association. Ia merupakan anggota Komisi Runnymede untuk Masa Depan Multi-Etnis Inggris. Sejak tahun 1994 Hall menjadi Ketua Institut Seni Visual Internasional (Iniva), sekarang berbasis di Rivington Place di London, yang menyelenggarakan pameran tunggal seniman Inggris dan internasional, termasuk Kimathi Donkor, Hew Locke, dan Aubrey Williams.
Hall adalah editor pertama New Left Review yang didirikan pada tahun 1957. Ia bergabung dengan Kampanye Pelucutan Senjata Nuklir pada tahun 1957; pada tahun 1964 ia menikah dengan Catherine Barrett. Pada tahun yang sama, istilah Cultural Studies pertama kali digunakan oleh Richard Hoggart seiring berdirinya Center for Contemporary Cultural Studies di Birmingham. Hoggart telah membaca buku pertama Hall, The Popular Arts (1964), dan mengundangnya menjadi Direktur. Hall kemudian pindah untuk bergabung dengan Universitas Terbuka sebagai profesor sosiologi pada tahun 1979, di mana ia tinggal selama 18 tahun berikutnya. Namun, ia mempertahankan koneksi dengan CCCS hingga kemudian ditutup pada 2002, sebagai korban “restrukturisasi” manajemen universitas.
Hall juga menjadi editor jurnal Soundings dan penulis banyak artikel dan buku tentang politik dan budaya. Pada bulan Januari 1979, Marxism Today menerbitkan prakiraan Hall tentang The Great Moving Right Show, di mana ia membahas keberhasilan awal “Thatcherisme”, istilah yang ia ciptakan untuk kebijakan yang baru lahir dari Pemimpin Oposisi tersebut. Tahun 2013, Hall menjadi tokoh sentral dari The Stuart Hall Project, sebuah film karya seniman John Akomfrah, yang ditayangkan perdana di Sundance Film Festival. Pada 10 Februari 2014, seminggu setelah ulang tahunnya yang ke-82, Hall meninggal dunia di London. Ia meninggalkan seorang istri, seorang putra dan seorang putri.
Pemikiran
Stuart Hall adalah guru besar Sosiologi di Universitas Terbuka Inggris dan, selama tiga puluh tahun terakhir, telah berada di garis terdepan dari segelintir pakar yang concern pada peran media dalam masyarakat. Ia juga salah satu tokoh yang memprakarsai teori resepsi (penerimaan). Teori ini berfokus pada bagaimana peran pembaca atau audiens dalam menerima dan memaknai pesan dan informasi yang disampaikan dalam teks. Model pemikiran Hall dalam teori resepsi ini adalah konsep encoding dan decoding.
Dalam konsep encoding dan decoding, produser media bisa saja meng-encode makna tertentu dalam teks yang dihasilkan. Teks tersebut didasarkan pada pemahaman dan konteks sosial tertentu yang dipahami dan dimiliki oleh produser teks. Setelah encoding teks disampaikan kepada audiens dan dikonsumsi oleh banyak orang, maka akan terjadi proses yang disebut dengan decoding, yaitu pemahaman atau penerimaan makna atas teks media yang telah dikonsumsi berdasarkan asumsi, konteks sosial, serta pengalaman budaya masing-masing individu audiens. Hal ini juga mempengaruhi bentuk penerimaan dari tiap audiens karena adanya perbedaan pengalaman budaya dan konteks sosial yang mereka miliki. Bahkan produser teks juga kehilangan kontrol atas pesan atau informasi yang ingin disampaikan.
Proses encoding dan decoding dapat dijelaskan melalui proses komunikasi dalam empat tahap, yaitu produksi, sirkulasi, konsumsi dan reproduksi. Berdasarkan empat tahap tersebut, proses encoding terjadi dari tahap produksi ke tahap sirkulasi. Sementara itu, proses decoding terjadi dalam tahap konsumi dan reproduksi. Penafsiran dan penerimaan audiens terhadap teks dipengaruhi oleh banyak hal, seperti jenis kelamin, kelas sosial, etnis, usia, dan sebagainya. Inti dari model encoding dan decoding Stuart Hall ini adalah mengaitkan hubungan antara teks dan audiens – teks dikodekan oleh produser, dan diterjemahkan oleh pembaca, dan mungkin ada perbedaan besar antara dua bacaan berbeda dari kode yang sama. Namun, dengan menggunakan kode yang diakui, dan dengan memanfaatkan ekspektasi penonton yang berkaitan dengan aspek-aspek seperti genre dan penggunaan bintang, produser dapat memposisikan penonton dan menciptakan konvensi tentang arti kode tersebut.
Hall menguraikan tiga hipotesis untuk mendekonstruksi makna common sense dari kesalahpahaman yang mungkin terjadi, yaitu posisi dominan-hegemonis, posisi ternegosiasi, dan posisi oposisi. Posisi dominan- hegemonis adalah keadaan di mana pesan teks dapat diterima dan dipahami oleh audiens sebagaimana yang dimaksudkan oleh produser teks. Hall menyebut ini sebagai bacaan yang disukai (preferred reading), karena inilah yang diinginkan oleh produser teks untuk mereka pahami. Namun, hal ini tidak secara otomatis diadopsi oleh audiens. Hal ini dihasilkan oleh mereka yang situasi sosialnya mendukung. Adapun posisi ternegosiasi yaitu keadaan di mana audiens dapat menerima dan menolak pesan dari teks. Dalam posisi ini, audiens mampu memahami maksud yang disampaikan oleh produser teks namun dalam beberapa hal juga menolaknya. Ini adalah bacaan yang dinegosiasikan (negotiated reading). Bacaan ternegosiasi dihasilkan oleh mereka yang mengubah preferred reading untuk memperhitungkan posisi sosial mereka. Sementara itu, posisi oposisi adalah keadaan di mana audiens mengerti keseluruhan pesan teks namun memilih untuk mengartikan atau memberi interpretasi terhadap pesan dengan caranya sendiri yang berbeda dari apa yang dimaksudkan oleh produser teks. Inilah yang disebut pembacaan oposisi (oppositional reading). Hal ini dihasilkan oleh mereka yang posisi sosialnya menempatkan mereka dalam konflik langsung dengan preferred reading.
Selain teori resepsi atau teori penerimaan dengan model encoding dan decoding, Hall juga mencetuskan teori representasi. Representasi, menurut Hall, adalah sistem di mana bahasa bekerja dengan menggunakan tanda dan simbol untuk mewakili atau merepresentasikan ide, pemikiran, perasaan, ekspresi, dan emosi. Hall mengemukakan pandangan baru yang memberikan konsep representasi peran yang jauh lebih aktif dan kreatif dalam kaitannya dengan cara orang berpikir tentang dunia dan tempat mereka di dalamnya. Pandangan baru tentang representasi ini sangat penting dalam melihat komunikasi dengan cara yang jauh lebih kompleks. Hall menunjukkan bahwa sebuah gambar dapat memiliki banyak arti yang berbeda dan bahwa tidak ada jaminan gambar akan bekerja dengan cara yang kita pikirkan saat kita membuatnya.
Ada tiga poin penting yang perlu kita pahami dalam teori Hall ini. Pertama, media sering menggunakan stereotip. Sebagai contoh, kita sering melihat wanita digambarkan sebagai ibu yang perhatian, ibu rumah tangga yang emosional, wanita yang cerewet, dan sebagainya. Kita juga sering melihat pria digambarkan sebagai sosok yang besar, kuat, dan pemberani. Media cenderung menggunakan stereotip semacam ini. Stereotip cenderung mereduksi sekelompok orang menjadi beberapa karakteristik kecil yang diasosiasikan dengan mereka. Etnis minoritas direpresentasikan di media, misalnya mereka sering dicitrakan secara negatif dengan karakter berbahaya. Stereotip inilah yang digunakan oleh media dan hampir semua produk media melakukannya.
Kedua, streteotip berasal dari ketidaksetaraan kekuasaan. Hall percaya bahwa steteotip cenderung muncul ketika ada penguasa yang berasal dari kelompok hegemonik dominan dalam masyarakat. Kelompok dominan dengan kekuasan hegemoniknya akan mengontrol kelompok yang kurang berkuasa. Jadi, ketika kita berbicara tentang kelompok hegemonik dominan di Inggris, yaitu laki-laki, kaya, kelas menengah ke atas, berkulit putih, dan karena banyak perusahaan media dimiliki oleh orang-orang dari kelompok kaya kulit putih tertentu, ada kecenderungan orang-orang dari luar kelompok itu distereotipkan mereka hanya memiliki sedikit pengalaman dengan orang-orang dari kelompok lain tersebut.
Ketiga, representasi untuk the other (liyan) cenderung menimbulkan stereotip. Misalnya, di surat kabar sering terlihat orang-orang dari latar belakang etnis minoritas direpresentasikan dengan cara negatif dan itu terjadi karena banyak pemilik surat kabar berasal dari latar belakang laki- laki kulit putih yang sangat kaya. Hanya ada sedikit wanita atau orang kulit berwarna (selain putih) yang berada di puncak industri media, sehingga yang cenderung terjadi adalah mereka dipandang sebagai kelompok yang lebih lemah, lebih rentan atau mereka sering distereotipkan dengan cara yang cukup negatif oleh orang-orang yang sebenarnya membuat media.
Teori Stuart Hall menyatakan bahwa tidak ada representasi yang benar dari orang atau peristiwa dalam sebuah teks, tetapi ada banyak cara merepresentasikannya. Jadi, produser mencoba untuk “memperbaiki” suatu makna (atau cara memahami) orang atau peristiwa dalam teks mereka. Representasi bukanlah tentang apakah media mencerminkan atau mendistorsi realitas, karena ini menyiratkan bahwa mungkin ada satu makna yang ‘benar’, tetapi banyak makna yang dapat dihasilkan oleh representasi. Makna dibentuk oleh representasi, oleh apa yang hadir, apa yang tidak ada, dan apa yang berbeda. Dengan demikian, makna bisa diganggu gugat.
Representasi mengandaikan peran penonton dalam menciptakan makna. Kekuasaan, melalui ideologi atau stereotip, mencoba untuk memperbaiki makna representasi dalam ‘makna yang disukai’. Untuk menciptakan anti- stereotip yang disengaja tetap berusaha untuk memperbaiki maknanya (meskipun dengan cara yang berbeda). Strategi yang lebih efektif adalah masuk ke dalam stereotip dan membukanya dari dalam, untuk mendekonstruksi karya representasi. Setiap kali produser teks mencoba untuk “memperbaiki” makna dari seseorang atau peristiwa, yang biasanya akan mengungkapkan sudut pandang dan bias (politik atau sebaliknya), biasanya surat kabar mencoba menjelekkan sekelompok orang. Namun, representasi anti- stereotip juga mencoba memperbaiki makna sehingga kelompok orang yang diejek di sejumlah tulisan mungkin ditampilkan sebagai heroik di tulisan lain.
Stuart Hall mendefinisikan identitas sebagai representasi terstruktur yang hanya bernilai positif melalui sudut pandang sempit yang negatif. Hal ini berarti bahwa diri tidak dapat dibentuk dalam isolasi namun saat bersinggungan dengan yang lain. Semua karakteristik unik kita seperti mimpi, suara, gaya bicara, berjalan dan berperilaku turut membantu dalam mendefinisikan diri, tetapi diri ini tetap harus berinteraksi dengan dunia luar seperti agama, pekerjaan, keluarga, atau komunitas dalam konteks sejarah untuk menjadi milik dan merasa menjadi bagian dari yang lain.
Meskii demikian, subjek postmodern dianggap tidak memiliki identitas yang tetap, esensial, atau permanen. Identitas subjek postmodern selalu berubah, dibentuk dan ditransformasi secara terus menerus dalam kaitannya dengan cara kita direpresentasikan dalam sistem budaya kita. Kehidupan modern menganggap kita sebagai subjek beragam posisi dan identitas potensial yang juga berbeda dengan pengalaman kita. Dalam dunia media digital di mana layar bersifat pribadi dan individu beroperasi dengan otonomi tingkat tinggi dan terjadi komunikasi tanpa wajah dan tanpa tubuh, penanda budaya geografis menjadi tidak valid, dan muncullah rezim budaya digital baru yang penuh dengan like, posting, repost, sharing, dan bahasanya sendiri.
Di jejaring sosial, profil dan arsip online menciptakan identitas. Setiap kali seseorang membuat pembaruan, mem- posting gambar dirinya, dan kebutuhannya untuk ditautkan, maka ia akan merasa terhubung sekaligus mengendalikan bentuk interaksi dan ekspresi dirinya sehingga mendorong munculnya ruang koneksi baru yang berfokus pada gaya, kreativitas, dan permainan untuk promosi kreatif diri. Perkembangan terkini dari teknologi citra digital berbiaya rendah telah memungkinkan multimodalitas komunikasi manusia. Satu individu terhubung dengan banyak orang.
Saat melihat sebuah produk media, kita perlu mencermati apa hal yang direpresentasikan oleh media tersebut, bagaimana direpresentasikan, siapa yang merepresentasikan atau memproduksi media, kekuasaan hegemonik yang menjadi bagian dalam produksi media, mengapa representasi tersebut dimunculkan, dan lain-lain. Sebagai pembaca akademis, kita diharapkan mampu melihat media, apapun itu, dengan lebih kritis dan obyektif, sehingga kita pun dapat menjadi pembaca atau audiens yang bijak dalam mengambil pesan dan men-decode informasi, baik itu pada posisi negotiated maupun oppositional.
Teori Stuart Hall terkait representasi identitas dapat digunakan untuk mengulas media sosial, seperti status Facebook, caption Instagram, atau kicauan di Twitter. Bagaimana identitas kesukuan, komunitas, atau kelompok tertentu direpresentasikan dalam sebuah film juga dapat dikaji dengan menggunakan teori Hall. Film Aladdin, yang dihasilkan oleh rumah produksi yang berbeda, misalnya, akan memberikan representasi yang berbeda tentang sosok pria muda dari Timur Tengah. Secara linguistik, aksen atau logat berbicara seseorang saat berkomunikasi juga dapat merepresentasikan identitas yang dimilikinya. Sementara itu, teori resepsi dapat digunakan dalam melihat bagaimana respons penonton terhadap suatu acara atau produk media tertentu. Sebagai contoh, teori Stuart Hall dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana respon penonton, lebih spesifik di kalangan mahasisiwa, terhadap film berjudul Dua Garis Biru. Data yang diperoleh dari informan dianalisis berdasarkan teori resepsi untuk mengkaji sejauh mana mahasiswa memahami pesan yang disampaikan oleh produser dengan merujuk pada tiga posisi hipotesis Hall dalam teori resepsinya.
Bibliographical Entries
- Hall, Stuart. (1997). Representation: Cultural representations and signifying practices. London: SAGE Publications Ltd.
- Gauntlett, D. (2002). Stuart Hall and predecessors. Media, gender, and identity: An introduction. London and New York: Routledge.
- Procter, J. (2004). Stuart Hall: Routledge critical thinkers. London: Psychology Press.
- During, S. (1999). The cultural studies reader. London: Routledge.
Citation
Vita Nur Santi: „Stuart McPhail Hall: Penggagas teori kajian budaya dan sastra“, Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,