Simone de Beauvoir: Feminis Eksistensialis Modern
- Version 1.0
Table of Contents

Biografi
Simone de Beauvoir adalah salah satu pegiat feminisme dan filsuf eksistensialis Prancis paling terkemuka. Bekerja bersama eksistensialis terkenal lainnya seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus dan Maurice Merleau-Ponty, Beauvoir menghasilkan banyak tulisan termasuk karya tentang etika, gender, fiksi, otobiografi, dan politik. Simone de Beauvoir lahir pada 9 Januari 1908 dari keluarga borjuis Paris. Orang tuanya adalah Georges Bertrand de Beauvoir, sekretaris hukum yang pernah bercita-cita menjadi seorang aktor, dan Françoise Beauvoir (née Brasseur), putri seorang bankir kaya dan penganut Katolik yang taat. Adik Simone, Hélène, lahir dua tahun kemudian. Keluarga itu berjuang untuk mempertahankan status borjuis mereka setelah kehilangan banyak kekayaan tak lama setelah Perang Dunia I, dan Françoise bersikeras agar kedua putrinya dikirim ke sekolah biara bergengsi.
Beauvoir adalah anak yang sangat religius hingga pada satu titik ia berniat menjadi seorang biarawati. Namun, pada usia 14 tahun, Beauvoir yang memiliki kuriositas tinggi mengalami krisis iman, meninggalkan keyakinannya, dan menjadi ateis sampai akhir sisa hidupnya. Penolakannya terhadap agama diikuti oleh keputusannya untuk mengejar dan mengajar filsafat. Hanya sekali ia mempertimbangkan untuk menikah dengan sepupunya, Jacques Champigneulle. Lalu ia tidak pernah berpikir mengenai pernikahan, dan lebih memilih untuk menjalani kehidupan intelektual.
Beauvoir lulus ujian sarjana muda dalam bidang matematika dan filsafat pada tahun 1925. Ia kemudian mempelajari matematika di Institut Catholique serta sastra dan bahasa di Institut Sainte-Marie. Ia lulus pada tahun 1926 dan memperoleh Sertifikat Sastra Prancis dan Latin. Beauvoir lulus ujian sertifikasi dalam bidang Sejarah Filsafat, Filsafat Umum, Yunani, dan Logika pada tahun 1927, dan sertifikasi dalam bidang Etika, Sosiologi, dan Psikologi setahun berselang.
Pada tahun 1929, Beauvoir menempati posisi kedua dalam ujian agrégation filsafat yang sangat kompetitif, mengalahkan Paul Nizan dan Jean Hyppolite, dan berada sedikit di bawah Jean-Paul Sartre yang menempati posisi pertama. Tidak seperti Beauvoir, ketiga pria tersebut telah menghadiri kelas persiapan (khâgne) terbaik untuk agrégation dan merupakan siswa resmi di École Normale Supérieure. Meskipun bukan siswa resmi, Beauvoir tetap menghadiri kuliah dan mengikuti agrégation di École Normale. Pada usia 21 tahun, Beauvoir adalah siswa termuda yang lulus agrégation dalam filsafat dan dengan demikian menjadi guru filsafat termuda di Prancis. Terkesan oleh kecerdasan Beauvoir, Sartre meminta untuk dikenalkan padanya. Dalam waktu singkat, hubungan mereka menjadi romantis. Namun, De Beauvoir sejak awal menolak lamaran pernikahan dari Sartre.
Pada tahun 1931, Beauvoir ditunjuk untuk mengajar di Marseilles, sedangkan pengangkatan Sartre membawanya ke Le Havre. Pada tahun 1932, Beauvoir pindah ke Lycée Jeanne d’Arc di Rouen tempat ia mengajar sastra dan filsafat tingkat lanjut. Di Rouen, ia secara resmi ditegur karena kritiknya yang terbuka terhadap perempuan. Pada tahun 1940, Nazi menduduki Paris, dan setahun kemudian Beauvoir diberhentikan dari aktivitas mengajarnya oleh pemerintah Nazi. Sebagai efek Perang Dunia II di Eropa, Beauvoir mulai mengeksplorasi masalah keterlibatan sosial dan politik intelektual. Beauvoir menyaksikan teman hidupnya, Sartre meninggal pada tahun 1980. Setelah kematian Sartre, Beauvoir secara resmi meminta rekannya, Sylvie le Bon, menjadi eksekutor pemikiran-pemikiran sastranya. Beauvoir meninggal karena edema paru pada 14 April 1986.
Pemikiran
Di balik persona mistis Beauvoir, terdapat semangat filosofis yang menginginkan wanita “bebas memilih dirinya sendiri.” Manusia adalah “hasil dari tindakan mereka,” dan Beauvoir hendak meyakinkan kita bahwa setiap orang memiliki takdir yang telah ditentukan sebelumnya. Bagi Beauvoir, setiap manusia adalah makhluk tanpa cetak biru. Ia mulai mengembangkan pandangan ini pada akhir 1920-an, sebelum ia bertemu Sartre, dan baru mempublikasikan ketidaksepakatan filosofisnya dengan Sartre pada tahun 1940-an.
Beauvoir mengembangkan filsafat etis dengan menolak perspektif yang mendasari relasi gender di tahun 1930-an dan awal 1940-an. Pandangan ini juga menjadi landasan filosofis untuk karyanya yang berjudul The Second Sex. Beauvoir meyakini bahwa selama ini keberadaan perempuan “diakui” apabila mereka berbeda dari laki-laki, karena perempuan diharapkan untuk menegaskan keberadaan mereka dengan mencintai orang lain. Ia berpendapat bahwa menjadi seorang wanita yang
“berbeda” dari pandangan umum sangatlah sulit karena sejarah, sastra, psikoanalisis, dan biologi mencitrakan wanita dengan mitos-mitos feminitas yang tidak sesuai, alih-alih mendorong mereka untuk menjadi bebas dan menjadi manusia seutuhnya.
Pada tahun 1949, para pengkritik menggambarkan Beauvoir sebagai anti-perempuan, anti-ibu, dan anti-pernikahan. Walaupun berpendapat bahwa pekerjaan atau profesi dapat membantu kemandirian wanita, Beauvoir tidak sepakat bahwa pekerjaan dengan sendirinya dapat membuat wanita bebas dan bahwa pernikahan atau menjadi ibu tidak ada nilainya. Tujuan dari penulisan bukunya yang bertajuk The Second Sex adalah untuk membantu Wanita menumbuhkan kepercayaan pada visi mereka sendiri tentang dunia – untuk mengakui nilai kebebasan mereka sendiri – yang kemudian ia sebut sebagai rapport à soi. Karena wanita tidak dapat memenuhi semua mitos feminitas yang tidak sesuai, pikir Beauvoir, mereka sering merasa gagal. Alih-alih bertanya pada diri sendiri apa yang mereka inginkan untuk hidup mereka, kaum wanita acap kali mencaci diri sendiri karena tidak menjadi apa yang diinginkan orang lain.
Novel Beauvoir sering dikritik karena memiliki karakter wanita yang tidak memenuhi cita-cita feminisnya. Namun setelah membuat “katalog” stereotip feminitas, Beauvoir tidak ingin melengkapi katalog tersebut dengan potret mitos yang menindas. Ia tidak ingin menulis tentang tokoh “wanita kuat” yang justru dapat memperkuat perasaan atau citra bahwa wanita tidak (atau belum?) kuat. Saat ini, ketika kehidupan wanita dibatasi, ia ingin pembacanya dapat bermimpi, gagal, dan bermimpi lagi, selalu dalam kesadaran bahwa kegagalan tidak serta merta membuat mereka lemah.
Apa pun itu, feminisme Beauvoir bukanlah tentang semangat kemenangan wanita. Dalam empat jilid otobiografinya, ia menceritakan saat ketika ia gagal memenuhi standarnya sendiri, dan ia menyembunyikan beberapa hal ketika ia mampu melebihi mimpinya untuk dirinya sendiri. Ia tidak pernah berniat menjadi wanita yang menulis “kitab suci” feminis, dan kehidupan yang ia Jalani sebelumnya mengandung beberapa hal yang tidak ia harapkan. Namun hal penting tentang menjadi manusia, menurut Beauvoir, adalah bahwa kita tidak dapat membatalkan masa lalu; kita hanya dapat menegosiasikan kembali maknanya saat kita memandang ke masa depan.
Beauvoir cukup prihatin dengan tanggung jawab etis yang dimiliki individu terhadap dirinya sendiri, individu lain, dan kelompok tertindas. Karya pertamanya, Pyrrhus et Cinéas (1944), mendekati pertanyaan tentang tanggung jawab etis dari kerangka eksistensialis, jauh sebelum Sartre melakukan upaya yang sama. Esai ini diterima dengan baik karena berbicara kepada masyarakat Prancis yang dilanda Perang Dunia II dan sedang berjuang untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan perang. Ceritanya dimulai dari percakapan antara Pyrrhus, raja kuno Epirus, dan penasihat utamanya, Cineas, tentang tindakan startegis. Setiap kali Pyrrhus membuat pernyataan tentang daerah yang akan ia taklukkan, Cineas bertanya kepadanya apa yang akan ia lakukan setelah itu. Akhirnya, Pyrrhus berseru bahwa ia akan beristirahat setelah mencapai semua rencananya, yang dibalas oleh Cineas, “Mengapa tidak segera beristirahat”? Karenanya, esai ini dianggap sebagai penyelidikan atas motif tindakan dan perhatian eksistensial tentang mengapa kita harus melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Beauvoir menekankan bahwa transendensi seseorang diwujudkan melalui proyek manusia yang menetapkan tujuannya sendiri sebagai sesuatu yang berharga, bukan mengandalkan validasi atau makna eksternal. Oleh sebab itu, tujuan bukanlah sesuatu yang terputus dari aktivitas, berdiri sebagai nilai statis dan absolut di luar keberadaan. Sebaliknya, tujuan ditetapkan melalui kebebasan yang menempatkannya sebagai usaha yang berharga. Beauvoir mempertahankan keyakinan eksistensialis dalam kebebasan mutlak memilih dan tanggung jawab yang ditimbulkan oleh kebebasan tersebut, dengan menekankan bahwa proyek seseorang harus muncul dari spontanitas individu dan bukan dari lembaga atau otoritas eksternal.
Sebagian besar filsuf setuju bahwa kontribusi terbesar Beauvoir terhadap filsafat dan sastra adalah karya besarnya yang revolusioner, The Second Sex (1949). Karya ini segera menarik perhatian pembaca dan kritikus. The Second Sex sangat kontroversial sehingga Vatikan memasukkannya (bersama dengan novelnya The Mandarins) ke dalam indeks buku-buku terlarang. Saat The Second Sex ditulis, sangat sedikit ide-ide filosofis yang melihat perempuan dari perspektif feminis. Perlakuan sistematis terhadap penindasan wanita, baik secara historis maupun di zaman modern, hampir tidak pernah terdengar. Mencolok karena luasnya penelitian dan kedalaman gagasan utamanya, The Second Sex hingga saat ini tetap menjadi salah satu teks dasar dalam filsafat, feminisme, dan studi gender.
Isu utama dalam The Second Sex adalah bahwa Wanita telah ditahan dalam hubungan penindasan yang cukup lama oleh pria melalui degradasi peran sebagai “yang lain”. Sejalan dengan filsafat Hegelian dan Sartrean, Beauvoir menemukan bahwa diri membutuhkan keunikan untuk mendefinisikan dirinya sebagai subjek. Oleh sebab itu, kategori “keunikan” diperlukan dalam pembentukan diri sebagai diri. Namun, gerakan pemahaman diri melalui perubahan seharusnya bersifat timbal balik dalam arti diri sering diobjektifikasi oleh orang lain seperti diri yang mengobjektifkannya. Apa yang ditemukan Beauvoir dalam penyelidikannya terhadap situasi wanita adalah bahwa wanita secara konsisten didefinisikan sebagai “yang lain” oleh pria yang mengambil peran sebagai diri.
Seperti yang dijelaskan Beauvoir dalam pendahuluan bukunya, wanita acap kali dinilai sebagai “yang insidental, yang tidak penting, berlawanan dengan yang esensial.” Padahal, menurut Beauvoir, hakikat keberadaan manusia adalah interaksi yang ambigu antara transendensi dan imanensi; namun laki-laki telah diistimewakan dengan mengekspresikan transendensi melalui proyek-proyek, sedangkan perempuan dipaksa ke dalam kehidupan imanensi yang berulang dan tidak kreatif. Beauvoir kemudian mengusulkan untuk menyelidiki bagaimana hubungan yang sangat tidak setara ini muncul, serta struktur, sikap, dan prasangka apa yang perlu dipertahankan agar wanita menemukan kekuatan sosialnya.
Bibliographical Entries
__________. 2020. Simone de Beauvoir. Diakses pada 15 November 2020 dari https://www.britannica.com/biography/Simone-de-Beauvoir
Mussett, S. 2000. Simone de Beauvoir (1908-1986). Diakses pada 15 November 2020 dari https://iep.utm.edu/beauvoir/#SH2a
__________. 2014. Simone de Beauvoir Biography. Diakses pada 15 November 2020, dari
Kirkpatrick, K. 2019. Was Simone de Beauvoir as Feminist as We Thought? Diakses pada 15 November 2020 dari
https://www.theguardian.com/books/2019/aug/20/was-simone-de-beauvoir-as-feminist-as-we-thought
Citation
Whida Rositama: Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,