Mikhail Mikhailovich Bakhtin: Pencetus Teori Dialogisme
- Version 1.0
Table of Contents

Biografi
M. M. Bakhtin adalah filsuf dan kritikus sastra dari Rusia yang hidup pada rentang 1895-1975. Ia menempuh pendidikan tinggi di University of St. Petersburg pada tahun 1918. Minat kajiannya meliputi sejarah, budaya, linguistik, teori sastra, dan estetika. Ia mengajar di Rusia Barat sebelum akhirnya pindah ke Vitebsk (kini Belarusia). Di Vitebsk ini ia memberi kuliah, mengadakan debat, dan menggelar konser.
Di tempat ini pula Bakhtin menulis dan mengembangkan teori kritisnya.
Bakhtin sering mempublikasikan pemikirannya atas nama orang lain, seperti Medvedev dan Volosinov karena sensor yang dilakukan oleh para pendukung Stalin. Walaupun sudah berhati-hati, Bakhtin ditangkap pada tahun 1929 dan diasingkan ke Republik Kazakh, daerah bagian Uni Soviet. Pada tahun 1945-1961, ia mengajar di Mordovian Teacher Training College. Di antara karyakaryanya, dua yang paling dikenal adalah Problems of Dostoevsky’s Poetics (1929) dan Dialogic Imagination (1975).
Pemikiran
Dialogisme merupakan teori utama Bakhtin terkait dengan wacana bahasa dan sastra. Ia memfokuskan kajiannya pada penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Premis utama Bakhtin adalah bahwa semua bahasa dipenuhi dengan wacana tentang the other (yang lain). Melalui Dialogisme-nya, Bakhtin menempatkan pengarang, teks, pembaca, dan realitas sosial pada posisi dan peran yang setara, yaitu bahwa pikiran dan ideologi pengarang, realitas teks, peran pembaca sebagai pemberi makna, dan semesta atau realitas sosial sebagai merupakan bahan penciptaan karya sastra.
Bagi Bakhtin, the self (diri) bersifat dialogis dan selalu memiliki relasi dengan yang lain. Kita dapat memahami sesuatu lebih baik melalui perspektif yang lain, melalui perbandingan yang selalu terikat atas ruang dan waktu. Untuk sebab itu, pemaknaan perlu dilihat sebagai proses interaksi antara the self (diri) dan the other (yang lain), baik yang bersifat imajiner maupun nyata. Bakhtin mengandaikan kehidupan sebagai continuum of networks of statements and responses (kontinum dari jejaring pernyataan-pernyataan dan respon-responnya). Sedangkan sebuah pernyataan itu sendiri terkait dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya dan sebagai antisipasi respon-respon di masa depan secara terus menerus (tanpa akhir).
Menurut Bakhtin, ujaran atau unit of speech, baik pada tataran kata, frasa, maupun kalimat, merupakan unsur pembentuk makna yang berasal dari masa lalu dan dihasilkan dari konteks-konteks yang berbeda. Dengan kata lain, masa lalu, masa kini, dan potensi respon yang terlibat dalam komunikasi bersama-sama membentuk (makna) ujaran. Ujaran, menurut Bakhtin, terbentuk karena adanya keterkaitan antar rantai ujaran-ujaran. Ujaran membawa asumsi-asumsi dan makna-makna yang melampaui rangkaian kata-kata. Asumsi dalam sebuah ujaran bisa membawa makna politis dan sosial, serta dapat merefleksikan norma-norma dan nilai-nilai budaya. Dalam Bahasa Bakhtin, ujaran bersifat “multi-voiced and imbued with power, color, and mood” (mempunyai banyak suara dan terilhami oleh kuasa, warna, dan suasana hati).
Kata-kata yang sama namun digunakan dalam konteks yang berbeda bisa memiliki makna yang berbeda pula sehingga, menurut Bakhtin, ujaran memiliki nuansa moralitas dan proposisional yang diwarnai oleh suasana kontekstual. Kata-kata dibentuk oleh sejarah, budaya, dan konteks yang mungkin saja bergeser. Ujaran selalu bersifat unik pada saat makna-makna dibentuk dalam interaksi dan muculnya potensi respon di momen tertentu.
Chronotope adalah istilah penting yang diperkenalkan Bakhtin untuk merefleksikan aspek-aspek ruang dan waktu dari sebuah ujaran. Aspek-aspek ruang dan waktu ini menurutnya saling terkait dan memiliki peran yang sangat penting dalam produksi makna. Menurut Bakhtin, makna dari sebuah ujaran tidak bisa sepenuhnya dipahami di luar rangkaian naratif, yaitu chronotope yang membangunnya. Dengan kata lain, makna mendalam dari sebuah ujaran hanya bisa dipahami melalui chronotope-nya, aspek-aspek ruang dan waktu yang saling terkait.
Selanjutnya, Bakhtin melihat ujaran sebagai interaksi yang kontinyu (terus berlanjut), dengan ujaran-ujaran orang lain. Ujaran manusia merupakan ekspresi yang dievaluasi, diafirmasi, dan dimodifikasi ulang sebagai respon dari ujaran-ujaran orang lain. Sehingga Bakhtin berpandangan bahwa “one’s speech is speech of others; it is double voiced” (perkataan seseorang merefleksikan perkataan orang lain; sehingga ia mempunyai suara ganda). Ujaran-ujaran manusia selalu dikonstruksi sedemikian rupa untuk memantik reaksi orang lain, antisipasi dalam sebuah rangkaian interaksi yang ditujukan pada lawan bicara. Serangkaian komunikasi ini, menurut Bakhtin, membentuk sebuah genre, dan rangkaian ujaran-ujaran itu membentuk sebuah wacana.
Saat memproduksi ujaran yang ditujukan kepada orang lain, konsep yang kita pahami berinteraksi dengan konsep orang lain. Dalam konteks inilah berbagai sudut pandang, pemahaman konseptual, aksen yang ekspresif, dan bahasa-bahasa sosial berinteraksi dengan yang lain. Ujaran dan respon-responnya selalu dibentuk dari posisi unik dari masing-masing pembicara sehingga dunia mereka tidak pernah tunggal melainkan relasional.
Bakhtin meyakini bahwa bahasa tidak pernah netral, namun selalui dipenuhi oleh keinginan-keinginan orang- orang lain dan selalu merupakan setengah dari bahasa orang lain. Bakhtin mengkonseptualisasikan bahasa sebagai sebuah arena pertarungan antara centrifugal forces (tekanan-tekanan yang keluar dari titik pusat) dan centripetal forces (tekanan-tekanan yang menuju titik pusat). Tidak ada kemenangan mutlak pada pertarungan ini, karena makna selalu melibatkan tarik menarik di antara keduanya, “meanings form and reform”, makna terbentuk dan dibentuk ulang.
Terkait dengan konsep centrifugal forces dan centripetal forces, Bakhtin membagi wacana menjadi dua, yaitu official discourses (wacana resmi) dan unofficial discourses (wacana tidak resmi). Wacana resmi yang berkorelasi dengan kuasa dan institusi ini dapat memaksa orang untuk melakukan asimilasi, yaitu kepatuhan terhadap wacana tersebut. Sementara wacana tidak resmi lebih bersifat cair dan negosiatif. Seperti halnya kedua jenis Kedua jenis wacana ini tidak lepas dari konflik. Konflik antara centrifugal forces dan centripetal forces serta official discourses dan unofficial discourses dalam satu bahasa disebut oleh Bakhtin sebagai heteroglossia. Fenomena ini terjadi bukan hanya dalam konteks wacana yang bersifat makro namun juga dapat dilihat pada skala linguistik mikro, seperti bahwa setiap bentuk ujaran memuat jejak ujaran-ujaran masa lalu dan masa depan.
Konsep lain yang diperkenalkan oleh Bakhtin adalah Polyphony. Bakhtin menggunakan istilah ini untuk mendeskripsikan apa yang disebutkan oleh Dostoevsky sebagai “multi-voiced novel,” novel yang didalamnya memiliki banyak suara. Bakhtin dalam esainya Discourse in the Novel menuliskan lima tipe dasar kesatuan komposisi gaya sebuah novel. Kelima hal tersebut adalah:
1. Narasi artistik sastra yang langsung dari pengarangnya
2. Gaya dari berbagai bentuk narasi lisan sehari-hari
3. Gaya narasi semi-sastra dalam kehidupan sehari-hari seperti surat dan diari
4. Berbagai bentuk sastra yang mengandung “extra-artistic authorial speech” seperti statemen moral, filosofis, saintifik, dan lain-lain
5. Ujaran tokoh yang secara stilistika terindividualisasi
Kelima hal di atas, menurut Bakhtin, merupakan satu kesatuan stilistika yang beragam karena semuanya membentuk sebuah sistem artistik yang terstruktur dan berada di bawah kesatuan stilistika yang lebih tinggi secara keseluruhan. Bakhtin sendiri mendefiniskan novel sebagai tipe ujaran sosial yang beragam, bahkan terkadang dalam bahasa yang berbeda, dan suara-suara individu yang beragam, yang secara artistik diorganisasikan.
Teori Bakhtin tentang Dialogisme, heteroglossia, polyphony, chronotope, genre, dan lima kesatuan gaya artistic dapat digunakan untuk menganalisa karya sastra seperti bagian-bagian novel. Nurrahman (2016), misalnya, mengkaji novel berjudul Korupsi karya Tahar Ben Jelloun untuk melihat keterkaitan struktur teks dengan konteks di mana “pengalaman ditransformasi ke dalam fakta-fakta secara ideologis.” Peneliti menemukan bahwa tekan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik, menjadikan tokoh Murad dalam novel tersebut mengubah haluan ideologinya. Di sini diketahui dengan jelas bahwa aspek cerita hanya bermakna bila dihubungkan dengan kesatuan ruang dan waktu. Polyphony juga muncul saat banyak suara “menekan, menghimpit, menerkam dan menerjang” kehidupan Murad.
Penggunaan teori Dialogisme Bakhtin dalam kajian sastra seperti yang dilakukan Nurrahman di atas bukanlah hal baru. Namun jelas bahwa Dialogisme Bakhtin ini memperkaya wawasan bahwa kehidupan manusia sehari-hari bersifat dialogis dan relasional sehingga perlu dilihat dari konteks ruang dan waktu tertentu.
Bibliographical Entries
- A Glossary of Key Terms. Dalam P. Morris (Ed). The Bakhtin Reader: Selected Writings of Bakhtin, Medvedev, Voloshinov
- Bakhtinian Dialogism
- Biography of M. M. Bakhtin
- Plot dan sudut pandang dalam bingkai wacana ideologis: analisis chronotopic terhadap novel “korupsi” karya Tahar Ben Jelloun melalui kerangka teori dialogis m. M. Bakhtin
- Teori Dialogisme Bakhtin dan Konsep-konsep Metodologisnya
- Bakhtin, M. M. 1981. The Dialogic Imagination: Four essays. Austin: University of Texas Press.
Citation
Ribut Wahyudi: Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,