Logo

Search the Maliki Encyclopedia

Article Homi K. Bhabha: Pengusung Teori Hibriditas dan Ruang Ketiga

Homi K. Bhabha: Pengusung Teori Hibriditas dan Ruang Ketiga

Biografi

Homi K. Bhabha lahir pada 1 November 1949 di Mumbai atau Bombay, India. Ia dilahirkan di Tengah keluarga Parsi, yakni keluarga yang melakukan migrasi dari Persia ke India ketika Islam menaklukkan Persia. Bhabha menghabiskan masa kecilnya di Bombay dan menyelesaikan pendidikannya di St. Mary’s School. Ia mendapatkan gelar Bachelor of Art dari Elphinstone College, University of Mumbai dan melanjutkan Pendidikan S2 dan S3 di bidang Sastra Inggris di Christ Church, Oxford, Inggris.

Bhabha adalah dosen di Jurusan Bahasa Inggris di University of Sussex, Inggris. Setelah mengajar di sana selama lebih dari sepuluh tahun, ia dianugerahi Senior Fellowship dari Princeton University. Dia juga menjadi tenaga pengajar di beberapa Universitas terkemuka di dunia, seperti menjadi Steinberg Visiting Professor di University of Pennsylvania, Faculty Fellow di Dartmouth College, Chester D. Tripp Professor di University of Chicago, dan Distinguished Visiting Professor di University College, London. Sejak tahun 2001, dia juga menjadi professor Bahasa dan Sastra Inggris dan Amerika di Harvard University. Di samping karir mengajarnya, Bhabha juga menjadi Editor di Jurnal Public Culture. Pada tahun 2012, dia dianugerahi penghargaan Padma Bhushan dari pemerintahan India.

Bhabha hidup bahagia bersama keluarganya. Dia menikahi seorang pengacara yang juga dosen di Harvard University bernama Jacqueline Bhabha. Mereka memiliki tiga anak: dua putra dan satu putri. Dua putranya Bernama Ishan Bhabha dan Satya Bhabha, sementara putrinya bernama Leah Bhabha.

Pemikiran

Bhabha mendapat banyak pengaruh dari tokoh-tokoh ternama seperti Franz Fanon dan Edward W. Said. Konsep-konsep (pasca) kolonial yang digagas oleh kedua tokoh tersebut dikritisi oleh Bhabha dari aspek oposisi biner tentang hubungan kolonialnya. Said banyak membahas tentang wacana penjajah, sedangkan Fanon berfokus pada wacana terjajah. Keduanya beranggapan bahwa posisi antara penjajah dan terjajah adalah stabil, terpadu, berbeda, dan bertentangan satu sama lain. Bhabha mengkritisi model oposisi biner hubungan kolonial dan teori kedua tokoh tersebut di mana, menurut Bhabha, konsep penjajah maupun terjajah saling berhubungan dan tidak bertentangan satu sama lain. Bhabha menunjukkan bahwa relasi-relasi kolonial distrukturkan oleh bentuk-bentuk kepercayaan yang sangat beragam dan kontradiktif. Ada suatu “ruang antara” yang memungkinkan pihak terjajah dan penjajah untuk saling berinteraksi. Ruang antara tersebut merupakan ruang yang longgar hingga memungkinkan terjadinya resistensi.

Pada tahun 1990, Bhabha mencetuskan pemikiran utamanya yang terkait dengan hubungan antara penjajah dan terjajah dalam suatu konsep time-lag, yakni suatu konsep yang menggambarkan sebuah struktur keterpecahbelahan dari suatu wacana kolonial. Gambaran keterpecahbelahan ini menjadikan subyek berada pada kondisi liminal space di antara budaya yang saling bertemu. Dalam kondisi liminal ini, garis pemisah antara penjajah dan terjajah tidak pernah tetap dan tidak dapat diketahui di mana akhirnya. Konsep liminal inilah yang digunakan Bhabha untuk mendeskripsikan suatu ruang antara di mana perubahahan budaya dapat berlangsung. Ruang antara adalah suatu ruang di antara akulturasi budaya yang memberi kesempatan dikembangkannya strategi-strategi pascakolonial. Ruang antara ini merupakan tempat terjadinya proses gerak dan proses pertukaran status yang berbeda dan terjadi secara terus menerus. Bhaba menunjukkan bahwa ada yang dinamakan sebagai ambiguitas identitas yang membawa seseorang dalam posisi “in-between” alias di tengah-tengah. Ruang inilah selanjutnya disebut dengan ruang enunsiasi ketiga.

Dari pemikiran ini, Bhabha mengembangkan suatu konsep yang terkait dengan proses konflik antara penjajah dan terjajah, dan menghasilkan hibriditas. Sesuai dengan asal katanya, hybrid berarti persilangan dua species berbeda. Hibriditas berarti pertukaran silang budaya yang mengacu pada interaksi antara budaya yang berbeda-beda, yang pada suatu saat akan menghasilkan pembentukan budaya dan identitas baru dengan sejarah dan perwujudan tekstual tersendiri. Hibriditas, misalnya, dapat dilihat pada pengadopsian bentuk-bentuk kebudayaan seperti pakaian, makanan, dan sebagainya. Akan tetapi, hibriditas tidak hanya mengarahkan perhatian pada produk-produk perpaduan budaya, tetapi lebih kepada cara bagaimana produk-produk budaya ini ditempatkan dalam ruang sosial dan historis di bawah kolonialisme menjadi bagian dari pemaksaan penolakan hubungan kekuasaan colonial.

Hibriditas diawali ketika batasan-batasan yang ada dalam sebuah sistem atau budaya mengalami pelenturan, sehingga kejelasan dan ketegasan mengenai hal-hal yang dapat dilakukan atau tidak dapat dilakukan mengalami pengaburan dan akhirnya menghasilkan suatu ruang baru. Sistem hibrid, menurut Bhabha, merupakan metafora bergabungnya dua jenis (bentuk) yang memunculkan sifat-sifat tertentu dari masing-masing bentuk, sekaligus meniadakan sifat-sifat tertentu yang dimiliki keduanya. Bhaba melihat bahwa hibriditas merupakan taktik dan strategi kebudayaan, di mana produk budaya hybrid senantiasa menghindari segala macam kategorisasi biner, pendatang versus pribumi, kapitalisme versus sosialisme. Akhirnya, produk budaya hibrid akan menempati apa yang disebut ruang ketiga dalam setiap kategori biner.

Bhaba menambahkan bahwa hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas baru dan bentuk-bentuk budaya. Hibriditas dapat diterima sebagai suatu alat untuk memahami perubahan budaya. Di dalam hibriditas, terdapat mimikri sebagai bukti bahwa yang terjajah tidak selalu diam, karena mereka memiliki kuasa untuk melawan. Konsep mimikri digunakan untuk menggambarkan peniruan atau peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Fenomena mimikri tidak menunjukkan adanya ketergantungan terjajah kepada yang dijajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Hal ini terjadi karena mimikri mengindikasikan makna yang tidak tepat dan salah tempat.

Ia adalah imitasi sekaligus subversi. Mimikri adalah tanda dari artikulasi ganda sehingga mimikri tidak pernah menghasilkan suatu identitas yang seragam, identik, dan takluk di bawah kekuasaan penjajah. Dengan demikian, mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi penjajah. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegaskan dominasinya.

Tindakan mimikri kadang-kadang dapat pula menjadi olok-olok (mockery) terhadap penjajah karena mereka tidak melakukan peniruan secara sepenuhnya pada model yang ditawarkan oleh penjajah. Mimikri sebagai wacana yang ambivalen karena di satu pihak membangun persamaan tetapi di lain pihak juga mempertahankan perbedaan. Budaya dari penjajah tidak hanya dapat ditiru, tetapi juga dapat dipermainkan. Mimikri dapat dipahami sebagai proses yang dipaksakan oleh penjajah tapi dengan pura-pura diterima oleh terjajah sehingga menghasilkan keadaan yang oleh Bhaha disebut dengan “almost the same,but not quite.”

Dalam kajian sastra, pemikiran utama Bhabha terkait hibriditas ini dapat dilihat dengan menggunakan metode dekonstruksi. Metode ini biasanya dilakukan dalam dua cara. Pertama, melakukan analisis terhadap wacana terjajah untuk menemukan kecenderungan kesatuan tematiknya, asumsi-asumsi dasarnya, dan sekaligus sarana-sarana retorik yang digunakan yang mungkin bertentangan dan dapat menunda asumsi-asumsi dasar. Cara kedua dilakukan dengan analisis terhadap subjek yang dimarjinalkan untuk mendesentralisasi kesatuan tematik wacana dominan.

Pemikiran Bhabha didukung oleh sebagian besar pemerhati pascakolonial, di antaranya Young dan Alatas. Young menyatakan bahwa wacana kolonial tidak hanya berfungsi sebagai instrumen konstruksi pengetahuan, tetapi juga berdasar pada protokol ambivalensi terhadap fantasi dan hasrat. Alatas juga sepemahaman dengan Bhabha bahwa adanya pemikiran kolianialis dan pribumi yang mengarah pada budaya barat dan timur mendorongnya mendalami orientalisme dan mendukung konsep-konsep superior pada barat dan inferior pada timur, seperti yang digagas oleh Bhabha. Dia juga secara khusus meneliti teks- teks orientalis yang terdapat di Hindia Belanda, Malaysia, dan Filipina.

Keengganan pribumi bekerja di lading atau bidang pendukung kapitalisme menghasilkan mitos bahwa pribumi adalah kaum yang malas, tukang kredit, peminum, dan pencuri. Mitos tersebut ikut melegalkan dan melanggengkan kolonisasi dan kapitalisme. Dengan mitos dan stereotip, penjajah merasa berhak mengatur, mengontrol, dan memberadabkan mereka. “Citra Superioritas” sebagaimana “citra inferioritas” menjadi bagian dari konsep pemapanan wacana kolonial. Pemapanan diperlukan sebagai tanda perbedaan rasial, historis, dan kultural dalam wacana colonial sehingga terjajah memasuki situasi yang tidak menentu dan terus menerus mempertanyakan identitas (eksistensi) mereka.

Salah satu penelitian yang menggunakan teori Bhabha tentang hibriditas dilakukan oleh Furqon dan Busro (2020). Penelitian ini mengkaji hibriditas pascakolonialisme Homi K. Bhabha dalam novel Midnight’s Children karya Salman Rushdie. Penelitian ini bertujuan untuk menunjukkan aspek mana saja yang merupakan hibriditas. Sebagai alat metodologi, penulis menggunakan analisis deskriptif (intrinsik-ekstrinsik). Dalam penelitian ini, mereka menemukan sejumlah identifikasi hibrid dalam novel Midnight’s Children, terutama pada aspek identitas (pembentukan subjek), bahasa, serta pergulatan batin tokoh.

Menurut Furqon dan Busro, novel Midnight’s Children menunjukkan adanya kesadaran dekonstruktif bahwa absurditas mendahului kemenjadian subjek. Baik kolonialisme maupun pascakolonialisme mengandung absurditas. Hal itu bukan berarti bahwa realitas colonial atau realitas poskolonial adalah satu-satunya realitas. Tokoh dalam novel ini sepertinya memahami bahwa tidak pernah benar-benar ada narasi besar yang menggerakkan rutinitas sebab pelbagai gerakan besar bermula dari apa yang sebelumnya kecil. Dari perspektif Bhabha kita temukan polarisasi sehingga menjadi jelas bahwa pascakolonialisme tidak merasuk pada semua hal di dalam novel. Ia hanya menguat pada aspek-aspek yang bersentuhan langsung dengan subjek (aku lirik), kognisi, politik, ekonomi, dan agenda.

Bibliographical Entries

  • Furqon, S. & Busro. 2020. Hibriditas poskolonialisme Homi K. Bhabha dalam novel “Midnight’s Children” Karya Salman Rushdie. Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 9(1), 73-100.

  • https://www.prospectmagazine.co.uk/culture/39441/homi-k-bhabha-why-we-need-a-new-emotive-language-of-human-rights
  • https://en.wikipedia.org/wiki/Homi_K._Bhabha

Citation

Deny Efita Nur Rakhmawati: „Homi K. Bhabha: Pengusung Teori Hibriditas dan Ruang Ketiga“, Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,