Gayatri Chakravorty Spivak: Dekolonisasi sejak dalam pikiran
- Version 1.0
Table of Contents

Biografi
Gayatri Chakravorty Spivak lahir pada tanggal 24 Februari tahun 1942 di Kalkuta (sekarang disebut Kolkata), India. Spivak terlahir dari orang tua bernama Pares Chandra dan Sivani Chakravorty. Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya di Sekolah Menengah Atas Putri Keuskupan St. John, Spivak melanjutkan pendidikannya dengan berkuliah di Universitas Kolkata dan lulus pada tahun 1959. Pada tahun 1961, Spivak melanjutkan studi pascasarjana dalam bidang Bahasa Inggris di Cornell University, New York. Karena tidak kunjung mendapatkan beasiswa dari Program Studi Bahasa Inggris, Spivak kemudian memutuskan pindah ke Sastra Bandingan yang saat itu merupakan program baru di Universitas Cornell. Spivak lulus pada tahun 1959 dengan disertasi berjudul Myself Must I Remake: The Life and Poetry of W.B. Yeats.
Pada musim gugur tahun 1965, Spivak menjadi asisten profesor di Departemen Bahasa Inggris di University of Iowa, Amerika Serikat. Pada tahun 1978, ia bergabung dengan Universitas Texas di Austin sebagai profesor Bahasa Inggris dan Sastra Bandingan. Sejak tahun 1991, dia menjadi dosen di Universitas Columbia dan pada tahun 2007, dia diangkat sebagai Profesor Universitas Columbia dalam bidang Humaniora. Di Universitas Columbia, Spivak merupakan salah satu pendiri dari Institute for Comparative Literature and Society (ICLS). Salah satu tujuan utama Institut yang didirikan Spivak di Universitas Columbia ini adalah memberikan dukungan kelembagaan untuk penelitian komparatif lintas disiplin dan lintas wilayah, serta mengakui perubahan-perubahan terkini dalam bidang humaniora, ilmu sosial, hukum, arsitektur, dan seni pertunjukan.
Spivak dikenal sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam teori-teori poskolonial, khususnya dalam studi feminisme poskolonial. Sebagai salah satu intelektual pascakolonial paling berpengaruh, Spivak terkenal karena esainya yang berjudul Can the Subaltern Speak? dan untuk terjemahan dari karya filsuf Prancis, Jacques Derrida, yang berjudul Of Grammatology (dalam Bahasa Prancis disebut De la Grammatologie). Ia juga menerjemahkan karya-karya Mahasweta Devi seperti Imaginary Maps dan Breast Stories ke dalam bahasa Inggris dan dengan tambahan apresiasi kritis khas Spivak. Mahasweta Devi sendiri adalah salah seorang sastrawan dan aktivis sosial handal yang berasal dari Bengali, India.
Spivak dianugerahi Penghargaan Kyoto 2012 pada bidang Seni dan Filsafat karena menjadi ahli teori kritis dan pendidik bidang ilmu-ilmu humaniora dalam melawan kolonialisme intelektual dan kaitannya dengan dunia global. Ia merupakan satu-satunya orang India yang pernah mendapatkan penghargaan tersebut. Spivak juga telah menerima 11 gelar doktor kehormatan dari Universitas Toronto, Universitas London, Oberlin College, Universitas Rovira Virgili, Universitas Rabindra Bharati, Universitas Nacional de San Martín, Universitas of St Andrews, Universitas de Vincennes à Saint-Denis, Universitas Presidency, Universitas Yale, dan Universitas Ghana-Legon. Pada tahun 2013, ia menerima Padma Bhushan, penghargaan sipil tertinggi ketiga yang diberikan oleh Republik India. Penghargaan Padma Bhushan ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan tanpa membedakan ras, pekerjaan, posisi, atau jenis kelamin. Penghargaan ini langsung diberikan dan ditandatangani oleh Presiden India. Pemikir India dalam bidang Sastra dan Pendidikan lainnya yang pernah meraih penghargaan ini adalah Homi K. Bhabha.
Spivak juga pernah berkunjung ke Indonesia pada tahun 2006 dan memberikan ceramahnya di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta serta di Universitas Indonesia dalam tiga hari berturut-turut. Saat itu usianya sudah menapaki 64 tahun, namun ia hanya membutuhkan waktu setengah jam untuk beristirahat sekalipun baru saja melakukan perjalanan selama lebih dari 22 jam untuk kemudian berpidato selama dua jam dan empat jam pada hari berikutnya.
Pemikiran
Spivak merupakan salah satu tokoh pascakolonial terkemuka dan pengakuan terhadap Spivak ini didukung oleh banyak tokoh pasca-kolonial lainnya seperti Partha Chaterjee misalnya. Pascakolonialisme sendiri adalah studi akademis kritis tentang warisan budaya kolonialisme dan imperialisme, dengan fokus pada konsekuensi manusia dari kontrol dan eksploitasi orang-orang yang dijajah serta tanah mereka. Lebih khusus lagi, pascakolonialisme adalah analisis teori-kritis tentang sejarah, budaya, sastra, dan wacana kekuatan empire (biasanya Eropa). Upaya-upaya teorisasi Spivak tentang masyarakat pasca-kolonial lebih ia curahkan pada relasi-relasi kuasa dalam struktur kekuasaan antar negara-negara bekas terjajah dengan apa yang disebut sebagai empire dalam hal produksi pengetahuan.
Yang menarik dari Spivak, sekalipun banyak orang menyebutnya sebagai tokoh pascakolonialisme, ia malah tidak nyaman ketika disebut sebagai tokoh/teoretisi ini dan itu. Gagasan-gagasan Spivak tidak mudah untuk dibingkai dan disimpulkan sebagai kerangka teori A, atau kerangka teori B. Bagi Spivak, kerangka teori tidak lebih hanyalah jalan untuk memahami, menjelaskan, sekaligus memecahkan suatu perkara, bukan keseluruhan perkara. Spivak cenderung melakukan diskusi dengan kerangka- kerangka teori baik itu misalnya marxisme, strukturalisme, pascastrukturalisme, dan poskolonialisme itu sendiri.
Spivak banyak mengupas sekaligus terilhami oleh Jacques Derrida. Pada tahun 1967, dalam kegiatan rutinnya sebagai seorang scholar, Spivak membeli sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis yang (pada saat itu) tidak dikenalnya, berjudul De la Grammatologie. Dia memutuskan untuk menerjemahkan buku berbahasa Prancis tersebut, dan kemudian menuliskan kata pengantar penerjemah yang panjang. Publikasi terjemahan yang berjudul Of Grammatology tersebut sukses besar, dan tentu saja kata pengantar yang ditulis oleh Spivak juga menjadi perhatian banyak pembaca buku tersebut. Kata pengantar dari Spivak tersebut kemudian mulai digunakan di seluruh dunia sebagai suatu pengantar dalam memahami filosofi dekonstruksi.
Spivak kemudian bertemu dengan Derrida, yang merupakan penulis De la Grammatologie pada tahun 1971. Menariknya, sekalipun terilhami oleh Derrida, Spivak tidak serta-merta mengiyakan secara taken for granted pemikiran- pemikiran Derrida. Spivak juga mengaitkan pemikiran- pemikirannya dengan pemikiran Derrida dan sekaligus juga memberikan kritik pada pemikiran Derrida. Spivak melakukan dialog dengan pemikiran Derrida, tidak sekedar mengutip, namun juga memaksa Derrida untuk memikirkan kembali tulisannya. Dalam pemikiran-pun, Spivak melakukan dekolonisasi pengetahuan. Ia tidak ingin pikirannya dijajah oleh orang lain. Artinya, Spivak selalu berusaha untuk meletakkan pikirannya pada posisi yang setara dengan pemikiran tokoh yang sedang dipelajarinya, yang dalam konteks ini adalah Jacques Derrida. Spivak tidak serta merta mengkopi teori-teori dari para ahli namun ia juga menawarkan gagasan-gagasannya sendiri.
Spivak mengakui bahwa ia terinspirasi oleh Derrida; beberapa tulisannya juga banyak mengutip Derrida. Namun demikian, kekagumannya pada Derrida membuat Spivak termotivasi untuk membuat narasi yang baru. Setelah dengan seksama memahami narasi-narasi Derrida, Spivak kemudian berusaha membangun kontra-narasi atas pemikiran Derrida. Hal itu ia lakukan tidak hanya terhadap Derrida, namun juga pemikiran-pemikiran lainnya. Spivak, misalnya, memberikan kritik atas konsep nilai dalam marxisme. Bagi Spivak, pemahaman atas nilai dalam marxisme sangatlah materialis. Spivak mempertanyakan posisi nilai dalam konteks budaya utamanya di luar masyarakat Barat yang belum mendapat tempat dalam marxisme. Feminisme juga tidak luput mendapat kritikan dari Spivak. Bagi Spivak, konsep emansipasi dalam perspektif Barat dimana narasinya selalu seputar bagaimana perempuan bekerja di luar rumah, membuat seakan-akan perempuan yang berada di dalam rumah menjadi tidak dianggap yang dalam hal ini menandakan bahwa tidak ada ruang bagi emansipasi di dalam rumah. Menurut Spivak, perempuan yang berada di dalam rumah belum tentu tidak memberikan kontribusi ataupun tidak berperan sama sekali dalam emansipasi. Dalam setiap pembacaannya pada suatu pemikiran, Spivak acapkali mampu melakukan dekolonisasi teori yang kemudian membuat namanya besar seperti saat ini.
Kritik-kritik yang dilakukan Spivak terhadap pemikiran-pemikiran Barat juga dilatarbelakangi oleh dari mana Spivak berasal. Spivak merupakan salah satu scholar yang sangat akrab dengan fenomena-fenomena empiris di negara asalnya India, dan dunia selatan seperti Asia dan Afrika. Spivak tidak ingin teori-teori Barat mengkoloni pemikiran-pemikiran yang berasal dari negara-negara dunia ketiga (definisi Dunia Ketiga disini ialah negara-negara yang pernah mengalami kolonisasi di Afrika, Amerika Latin, Oseania, dan Asia). Dalam merespon feminisme radikal misalnya, Spivak memiliki pendapat yang berbeda dengan anggapan bahwa pernikahan hetero (pernikahan berbeda jenis kelamin) menjadi sumber dari ketidaksetaraan gender. Pandangan semacam ini menurut Spivak akan sangat bertentangan dengan norma yang berlaku pada beberapa kultur masyarakat tertentu. Jika pemikiran seperti ini dibawa begitu saja ke dalam konteks dunia selatan, tentu akan menjadi masalah karena dapat dipastikan jika tidak hanya akan membentur institusi negara namun juga institusi agama.
Menurut Spivak, politik gender haruslah dilihat secara kontekstual dan tidak bisa bersifat universal. Jika feminisme barat dipaksakan harus bersifat universal, yang terjadi justru akan semakin mendorong terjadinya dominasi hetero normativitas karena pemikiran feminisme dianggap bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut masyarakat tersebut. Heteronormativitas sendiri adalah keyakinan bahwa heteroseksualitas adalah orientasi seksual yang “normal” dan “sepatutnya” dimiliki oleh manusia. Dalam kata lain, pandangan ini mengasumsikan bahwa manusia normal adalah manusia yang melakukan perkawinan dengan lawan jenis. Pemikiran-pemikiran Spivak semacam inilah yang kemudian membuat Spivak sangat sulit untuk diklasifikasikan kedalam bingkai-bingkai teori tertentu oleh para pembaca-pembaca karyanya.
Spivak mulai dikenal sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam teori-teori pascakolonial, utamanya dalam feminisme pascakolonial melalui esainya Can the Subaltersn Speak? yang terbit pada tahun 1983 dan menjadi karya monumental, bahkan diperingati 20 tahun penerbitannya oleh para filsuf dunia di Cork, Irlandia. Di dalam esainya tersebut, Spivak mempertanyakan definisi “subjek” sebagai kolonial (atau Barat) dan budaya lain sebagai “the other”. Subaltern merujuk kepada individu atau kelompok yang terasingkan, yang tidak dapat menyuarakan pendapatnya serta tidak memiliki otoritas politis. Konsep subaltern sendiri merupakan konsep yang digunakan oleh Gramsci sebagai padanan dari kata proletariat dalam terminologi marxisme. Oleh Spivak, konsep subaltern yang merujuk pada kategori kelas sosial ini kemudian diperluas sampai mencakup kategori gender. Contoh yang diberikan Spivak adalah mengenai ritual sati di India. Ia mengajukan pertanyaan: “What did sati say?” Spivak merujuk sebuah “kenyataan yang dijejalkan” kepada masyarakat “primitif” India oleh penjajah “beradab” Inggris bahwa sati adalah sebuah kejahatan dan bukan sebagaimana seharusnya ditafsirkan: suatu bentuk ritual di dalam ajaran Hindu.
Tradisi Hindu tentang sati, atau pembakaran janda, yang dicontohkan oleh Spivak, merupakan medan pertempuran ideologis untuk persaingan wacana antara sudut pandang Barat dan sudut pandang dunia Selatan. Dalam konsepsi Barat, sati tidak hanya merupakan ritual takhayul, melainkan juga tindak kejahatan. Dengan alasan inilah para janda dalam teks sati, yang semuanya ditulis dari perspektif Barat, digambarkan sebagai korban kejahatan yang tidak manusiawi. Disini, janda dalam ritual sati direpresentasikan melalui dua wacana yang saling bersaing yaitu sebagai pahlawan wanita yang mampu menahan kobaran api yang mengamuk dari tumpukan kayu bakar atau sebagai korban yang menyedihkan dan dipaksa melawan keinginan mereka untuk melompat ke dalam kobaran api.
Menurut Spivak, dengan merepresentasikan sati sebagai suatu praktik yang dianggap barbar, Inggris dengan demikian dapat membenarkan imperialisme sebagai misi peradaban di mana mereka seolah-olah menyelamatkan wanita India dari praktik tercela yang dilakukan oleh masyarakat patriarkal Hindu tradisional. Representasi sati dengan demikian dapat dilihat sebagai British dealings karena digunakan untuk membenarkan kehadiran Inggris di India. Seperti yang dikatakan oleh Spivak, dalam wacana tentang sati, ‘kita tidak pernah menemukan tentang apa yang disebut dengan women’s voice-consciousness’. Harus diingat bahwa betapapun realistis ‘suara’ para janda, mereka hanyalah representasi, dibuat dan dibingkai oleh perspektif Barat. Perspektif Barat, kemudian, secara krusial lebih unggul dari perspektif subaltern. Dalam hal wacana kolonial, maka, orang kulit putih tidak ‘menyelamatkan wanita coklat dari laki-laki coklat’; sebaliknya, orang kulit putih menghambat kebebasan wanita kulit coklat untuk berbicara.
Spivak, dalam berbagai ulasannya, acap kali menunjukkan bahwa pascakolonialisme bukanlah sekadar pemikiran namun juga metodologi. Pemikiran-pemikiran Spivak menunjukkan bahwa ia juga berupaya melakukan dekolonisasi atas teori-teori besar. Spivak sangat getol mengajak pembaca tulisan-tulisannya untuk tidak sekedar menjadi native informants. Sekalipun sulit, Spivak senantiasa mengajak para pemikir yang berasal dari negara-negara bekas jajahan untuk berani bersikap setara dengan para pemikir dari Barat, kalaupun tidak bisa, minimal para pemikir dari negara bekas jajahan tersebut mampu berdialog dengan teori-teori mapan, bukan hanya misalnya menjadi penyumbang data dan menjadi penganut suatu teori.
Spivak mengistilahkan proses dialognya dengan pemikiran-pemikiran tokoh tertentu sebagai critical intimacy. Dalam feminisme misalkan, Spivak tampil dengan gayanya feminismenya sendiri sebab feminisme barat tentu tidak bisa begitu saja diterjemahkan dalam konteks masyarakat tertentu. Perempuan Asia misalnya, memasak dengan sukarela untuk keluarganya dan merasa bahagia manakala suami dan anak-anaknya makan dengan lahap masakan buatannya. Memasak, dalam pandangan feminisme, dianggap sebagai suatu proses penyerahan diri, namun dalam konteks masyarakat tertentu, masih terdapat rasa senang ketika melakukan kegiatan memasak tersebut. Wacana feminisme barat menganggap hal yang demikian itu adalah sesuatu yang dilakukan oleh buruh gratisan. Mereka (feminisme barat) tidak mempertimbangkan unsur rasa senang dan sukarela yang dilakukan oleh perempuan ketika memasak untuk orang-orang yang dicintainya.
Spivak merupakan sarjana yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan akademik Amerika Serikat yang merupakan salah satu pusat produksi pengetahuan dunia. Hal ini membuat banyak kalangan yang menganggap Spivak bisa seperti sekarang dikarenakan ia memiliki privilege dengan mendapatkan pendidikan terbaik di negara yang menjadi pusat pengetahuan. Spivak menyangkal pendapat tersebut dan mengatakan sekalipun dia berasal dari keluarga kelas menengah di India, ia sudah membiayai hidupnya sendiri sejak berusia 17 tahun dan memutuskan pergi ke Amerika Serikat dengan berbekal uang 18 dollar dan tidak mengenal siapapun di sana. Spivak merasa bahwa pencapaiannya saat ini merupakan didikan dari orang tuanya yang tidak mengikuti pakem kebanyakan orang tua tradisional di India. Orang tuanya memberikan kebebasan kepada Spivak dan bahkan sepeninggal Ayahnya, Ibunya mempersilahkan Spivak untuk memilih jalan hidupnya sendiri, sesuatu yang sangat langka bagi keluarga di India. Spivak merasa bahwa, dibanding privilege, dia menganggap jika pola asuh yang tak biasa itulah yang lebih berperan menjadikannya seperti saat ini.
Didikan oleh orang tuanya untuk berpikir secara bebas, sedikit banyak mempengaruhi pemikiran Spivak yang enggan menganut suatu teori dan lebih memilih untuk melakukan diskusi dengan teori-teori tersebut sekaligus juga memasukkan ide-idenya sendiri. Spivak sangat getol mengajak para sarjana untuk tidak menjadi native informant yang dengan kata lain hanya menjadi penyumbang data dan menjadi penganut suatu teori. Bagi Spivak, kita harus secara aktif turut serta dalam penyebaran pemikiran tanpa harus menjadikan diri hanya sabagai bagian dari data, melainkan juga pola pikirnya.
Menurut Spivak, sejarah kolonial menyebabkan produksi pengetahuan bersifat timpang karena Negara yang menjajah memiliki lebih banyak akses untuk mewakili negara yang terjajah. Pengetahuan seakan-akan dikuasai oleh Barat saja, sementara pengetahuan dari belahan dunia lainnya tidak dianggap penting. Pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari belahan dunia lainnya, akan lebih dianggap manakala diterjemahkan kedalam Bahasa yang dipahami oleh orang Barat, seperti misalnya kegandrungan pemerintahan kolonial Inggris untuk menerjemahkan Bahasa sansekerta adalah suatu wujud dari kodifikasi dan etnosentris peradaban menulis pihak kolonial.
Spivak banyak mengutip pemikiran dari tokoh- tokoh seperti Derrida, Hegel, dan Gramsci namun ia tetap memasukkan pemikirannya untuk berdialog dengan ide-ide pemikir tersebut. Proses dialog (critical intimacy) semacam ini oleh Spivak diharapkan dapat menjadi cara untuk melahirkan para pemikir-pemikir dari negara-negara bekas jajahan, terutama di kawasan Asia dan Afrika.
Bibliographical Entries
- Selden, R., Widdowson, P., dan Brooker, P. (2005). A Reader’s Guide to contemporary literary theory. Edinburgh: Pearson.
- Spivak, G. C. (1993). Can subaltern speak? Dalam Laura C. dan Patrick W. (Ed). Colonial discourse and post-colonial theory: A reader. New York: Columbia University Press.
- Morton, S. (2003). Gayatri Chakravorty Spivak. Oxon: Routledge.
- Spivak, G. C. (1987). In other worlds: Essays in cultural politic. New York: Routledge.
- Budiawan. (2018). Tentang Gayatri C. Spivak: Dari dekonstruksi hingga “Megacity”. Wawancara dengan Associate Professor Rachmi Dian Larasati. Dalam Wening U. (Ed). (2018). Hamparan wacana dari praktik ideologi, media, hingga kritik poskolonial. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Citation
Agwin Degaf: „Gayatri Chakravorty Spivak: Dekolonisasi sejak dalam pikiran“, Version 1.0. In: Maliki Encyclopedia. Published by Pusat Perpustakaan, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang,